Monday, February 4, 2019

Kisah Nabi dan Sahabat Surat Nabi Kepada Raja Oman

0 Comments

Surat Nabi Kepada Raja Oman

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada Raja Oman, Jaifar dan Abd, keduanya adalah anak Al-Julunda. Inilah surat beliau:

“Bismillahir-rahmanir-rahim.

Dari Muhammad bin Abdullah, kepada Jaifar dan Abd bin Al-Julunda. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk, amma ba’d. Sesungguhnya aku menyeru tuan berdua dengan seruan Islam. Masuklah Islam, niscaya tuan berdua akan selamat. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada semua manusia, untuk memberi peringatan kepada orang yang hidup dan membenarkan perkataan terhadap orang-orang kafir. Jika tuan berkenan mengikrarkan Islam, maka aku akan mengukuhkan kerajaan tuan, namun jika tuan enggan mengikrarkan Islam, maka kerajaan tuan pasti akan berakhir dan kudaku pasti akan menginjakkan kaki di halaman tuan dan nubuwahku akan mengalahkan kerajaan tuan.”

Beliau menunjuk Amr bin Al-Ash untuk menyampaikan surat ini. Amr menuturkan, “Aku pun berangkat hingga tiba di Oman. Aku ingin menemui Abd bin Al-Julunda terlebih dahulu, karena dia lebih lemah lembut dan lebih kooperatif. Aku berkata di hadapannya, “Aku adalah utusan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadap tuan dan saudara tuan.”

“Temuilah saudaraku terlebih dahulu, karena dia lebih tua dan lebih berkuasa daripada aku. Aku akan mencoba mengantarkan engkau hingga dia bisa membaca suratmu.”

Kemudian Abd mengajukan beberapa pertanyaan, “Apa yang hendak engkau serukan?”

Aku menjawab, “Aku menyeru kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, hendaklah tuan melepaskan apa pun yang disembah selain-Nya, hendaklah tuan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”

“Wahai Amr, engkau adalah putra pemimpin kaummu. Lalu apa saja yang diperbuat ayahmu? Padahal kami sangat salut kepadanya.”

“Dia meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada Muhammad. Padahal aku ingin sekali dia masuk Islam dan membenarkannya. Dulu aku sejalan dan sepemikiran hingga Allah memberikan petunjuk kepadaku untuk masuk Islam.”

“Sejak kapan engkau mengikutinya?” tanya Abd.
“Belum lama,” jawabku.
“Di mana engkau masuk Islam?”
“Di Hadapan Najasyi,” jawabku. Lalu aku mengabarkan kepadanya bahwa Najasyi sudah masuk Islam.
“Lalu bagaimana reaksi kaumnya terhadap kerajaannya?” tanya Abd.
“mereka tetap mengakuinya dan mengikutinya,” jawabku.
“Bagaimana dengan para pendeta dan padri?” tanyanya.
“Begitu pun mereka,” jawabku.

Hati-hatilah dengan perkataanmu wahai Amr. Sesungguhnya tak ada perangai seseorang yang lebih buruk daripada dusta.”

“Aku tidak berdusta, dan kami tidak menghalalkan dusta dalam agama kami,” jawabku.
“Menurutku Heraklius tidak tahu keislamannya saat itu.”
“Begitulah.”
“Dari mana engkau bisa mengetahuinya?”

“Dulu Najasyi selalu menyerahkan pajak kepada Heraklius. Setelah masuk Islam dan membenarkan Muhammad, maka dia berkata, “Tidak, demi Allah, andaikan dia meminta satu dirham pun, aku tidak menyerahkan kepada dia,” jawabku.

“Akhirnya Heraklius mendengar pula keislamannya. Lalu dia ditanya saudaranya, ‘Apakah engkau membiarkan rakyatmu menolak menyerahkan pajak kepadamu dan memeluk agama baru yang bukan agamamu?’ Heraklius menjawab, ‘Orang itu menyukai satu agama lalu memilih untuk dipeluknya. Apa yang bisa kuperbuat terhadap dirinya? Demi Allah, jika bukan karena beban kerajaanku ini, tentu aku akan melakukan seperti apa yang dilakukannya’.”

“Hati-hatilah dengan perkataanmu wahai Amr,” kata Abd memperingatkan aku.
“Demi Allah aku berkata jujur kepada tuan,” jawabku.
“Tolong beritahukan kepadaku, apa yang diperintahkan Muhammad dan apa pula yang dilarangnya?”

“Beliau memerintahkan untuk selalu taat kepada Allah dan melarang mendurhakai-Nya, memerintahkan kepada kebajikan dan menyambung tali persaudaraan, dan melarang dari kezhaliman dan permusuhan. Beliau juga melarang zina, minum khmr, menyembah batu, patung dan salib.”

“Alangkah bagusnya apa yang diserukan itu. Andaikan saja saudaraku sependapat denganku tentang dirinya hingga kami beriman kepada Muhammad dan membenarkannya. Tetapi bagi saudaraku lebih baik mempertahankan kerajaannya daripada meninggalkannya dan hal ini menjadi beban dosa baginya.”

“Sesungguhnya jika dia mau masuk Islam, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tetap akan mengakui kekuasaannya terhadap kaumnya. Beliau akan mengambil sedekah dari penduduk yang kaya lalu memberikannya kepada mereka yang miskin,” kataku.

“Itu semua akhlak yang bagus. Tetapi apa yang dimaksudkan sedekah itu?”

Lalu aku memberitahukan kepadanya tentang segala yang diperintahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenai zakat mal, termasuk zakat untuk onta.

“Wahai Amr, apakah sedekah itu diambilkan dari hewan-hewan ternak kami yang digembalakan?” tanya Abd. “Benar,” jawabku.

“Demi Allah, sekalipun kaumku tetap berada di rumahnya dan sekalipun hewan ternak banyak, aku tidak melihat mereka mau menaatinya.”

Beberapa hari aku menuggu di depan rumah Abd, yang saat itu masih berusaha menghubungi saudaranya dan mengabarkan apa yang aku katakan. Suatu kali Jaifar memanggilku. Saat aku menghadapinya, para pengawalnya mencekal lengan tanganku.

“Lepaskan dia!” katanya.

Maka aku pun dilepaskan. Aku bermaksud hendak duduk. Aku memandangi Jaifar. Lalu berkata, “Katakan apa keperluanmu!”

Aku menyebutkan surat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang masih terbungkus dengan cincin stempelnya. Setelah menerima surat beliau, Jaifar merobek tutupnya dan membacanya hingga selesai, lalu menyerahkannya kepada saudaranya, Abd, yang juga membacanya hingga selesai.

“Maukah engkau memberitahukan kepadaku apa yang dilakukan Quraisy?” Tanya Jaifar kepadaku.

Aku menjawab, “Mereka sudah banyak yang mengikuti beliau, entah karena memang menyenangi agamanya, entah karena kalah dalam peperangan.”

“Siapa saja yang bersamanya (Rasulullah)?” Tanya Jaifar.

“Sudah cukup banyak orang yang menyenangi Islam dan memeluknya. Dengan akalnya dan berkat petunjuk Allah mereka sudah sadar bahwa mereka sebelumnya berada dalam kesesatan. Dalam kepasrahan ini, aku tidak melihat seorang pun yang masih tersisa selain diri tuan. Jika saat ini tuan tidak mau masuk Islam dan mengikuti beliau, maka sepasukan berkuda akan datang ke sini dan merebut harta benda tuan. Maka masuklah Islam, niscaya tuan akan selamat dan beliau tetap akan mengangkat tuan sebagai pemimpin kaum tuan. Jangan sampai ada pasukan yang menyerang tuan.”

“Akan kupertimbangkan hari ini juga dan besok silahkan datang lagi ke sini!” kata Jaifar.

Aku kembali menemui Abd. Dia berkata, “Wahai Amr, aku benar-benar berharap dia masuk Islam asalkan dia tidak merasa sayang terhadap kerajaannya.”

Besoknya aku hendak menemui Jaifar. Namun dia tidak mengizinkanku. Aku pun kembali menemui Abd dan kuberitahukan kepadanya bahwa aku belum berhasil menemui saudaranya. Setelah aku berhasil menemui Jaifar berkat bantuan Abd, Jaifar berkata, “Aku sedang memikirkan apa yang engkau serukan kepadaku. Aku akan menjadi orang Arab yang paling lemah jika aku menyerahkan kerajaanku ini kepada seseorang, dengan begitu pasukan Muhammad tidak akan menyerang ke sini. Jika pasukannya menyerang ke sini, tentu akan menjadi peperangan yang dahsyat.”

Karena belum juga memberi keputusan, maka aku berkata, “Besok aku akan pulang.”

Setelah Jaifar yakin bahwa besok aku akan pulang, dia berkata kepada saudaranya, “Tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali menerima tawarannya. Sebab siapa pun yang dikirimi surat oleh Muhammad tentu memenuhi seruannya. Kalau begitu besok suruh dia menghadap lagi ke sini.”

Akhirnya Jaifar dan Abd bin Al-Julunda masuk Islam dan beriman kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan keduanya siap menyerahkan sedekah dan kerajaan tetap berada di tangan mereka berdua. Mereka sangat membantuku dalam menghadapi orang-orang yang hendak menentang. 

No comments:

Post a Comment

 
back to top