Wednesday, February 6, 2019

Kisah Hikmah Islami Khidr As Muncul Karena Ketulusan (1)

0 Comments

Khidr As Muncul Karena Ketulusan (1)

Sosok Nabi Khidr AS yang terkenal karena kisah pertemuannya dengan Nabi Musa AS diabadikan dalam Al Qur’an Surat Al Kahfi ayat 60-82 memang fenomenal. Nabi SAW juga mengulang kisah tersebut dalam beberapa hadist beliau dengan beberapa penjabaran. Dalam surat Al Kahfi tersebut tidak disebutkan nama Khidr dan juga statusnya sebagai salah satu nabi, hal ini saja sudah menimbulkan perbedaan pendapat, apakah beliau seorang nabi atau hanya seorang ulama atau salah satu auliyah Allah. Begitu juga terjadi perbedaan pendapat, apakah beliau masih hidup sampai sekarang atau sudah meninggal?

Bukan di sini tempatnya untuk membahas perbedaan pendapat tersebut karena masing-masing ulama mempunyai hujjah (argumentasi) yang kuat untuk mendukung pendapatnya. Bagi kita yang awam, cukuplah mengikuti pendapat yang kita mantap dengannya tanpa “menghujat” pendapat lain yang berbeda. Hanya saja, bagi yang percaya Nabi Khidr AS masih hidup sampai sekarang, terkadang ada yang terlalu “mendewa-dewakan” beliau, bahkan membuat cara-cara yang menyeleweng dari syariat hanya untuk bisa bertemu dengan beliau.

Sesungguhnya Nabi Khidr AS tidak bisa “dipaksa” hadir dengan cara apapun, kecuali jika Allah SWT mengijinkan beliau hadir seperti yang terjadi kepada Nabi Musa AS, atau beliau “ditugaskan” Allah SWT hadir sebagai jalan untuk menolong hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Kalau “ritual-ritual” yang diadakan untuk bertemu Nabi Khidr didasari hawa nafsu dan tujuan duniawiah semata-mata, bisa jadi yang hadir malahan syaitan terkutuk yang akan makin menjerumuskan manusia ke dalam jurang kesesatan. Naudzubillahi min dzaalik!! Semoga kisah berikut ini memberikan hikmah dan menambah pemahaman bagi kita.

Al kisah, di negeri Turkestan tinggal seorang lelaki tua bernama Bakhtiar. Ia sangat miskin, dan dengan usianya yang telah renta, ia kesulitan untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia sendiri “cukup malu” untuk meminta-minta walau warga di sekitarnya cukup banyak yang hidup berkelimpahan, karena itu ia tetap berusaha sebatas kemampuannya.

Suatu ketika raja yang berkuasa di Turkestan tersebut sedang didatangi seorang ulama sufi. Setelah menyampaikan beberapa nasehat, tiba-tiba Sang Raja menanyakan tentang Nabi Khidr yang misterius tersebut. Sang Sufi menceritakan tentang Nabi Khidr secara sekilas, kemudian berkata, “Khidr hanya datang jika diperlukan, tangkaplah jubahnya kalau ia muncul, maka segala pengetahuan akan menjadi milik Baginda!!”

Tentu saja apa yang dikatakan Sang Sufi tersebut tidak bisa diterjemahkan secara harfiah begitu saja. Sang Raja bertanya, “Apakah itu bisa terjadi pada siapapun?”

“Ya, siapapun bisa!!”

Setelah Sang Sufi pergi, keinginan Sang Raja untuk bertemu Nabi Khidr sangat kuat. Ia ingin melengkapi kekuasaannya dengan pengetahuan, dan itu akan bisa diwujudkan dengan mudah kalau ia bertemu Nabi Khidr dan ‘menangkap jubahnya’. Ia berfikir, “Kalau hal itu bisa terjadi pada siapapun, apalagi aku, bukankah aku seorang raja??”

Untuk memujudkan keinginannya tersebut, Sang Raja membuat sayembara yang disebarkan ke seluruh pelosok negeri, “Barangsiapa yang bisa menghadirkan Khidr yang misterius di hadapanku, maka ia akan kujadikan orang yang kaya…!!”

Ternyata tidak banyak yang merespon sayembara tersebut karena hal itu suatu hal yang tidak mudah, walau mungkin saja terjadi. Ketika Bakhtiar mendengarnya, muncul suatu rencana di benaknya. Ia berkata kepada istrinya, “Wahai istriku, aku punya rencana dan kita akan segera kaya. Tetapi tak lama setelah itu aku akan mati, dan itu tidak mengapa, karena engkau telah mempunyai simpanan untuk bisa membiayai kehidupanmu seterusnya…!!”

Bakhtiar menceritakan rencananya. Istrinya hanya bisa setuju dan mendoakan saja. Bagi orang-orang seperti mereka, memang tidak banyak pilihan untuk bertahan hidup. Setelah itu ia pergi menghadap kepada Sang Raja.

Setelah memberi penghormatan seperlunya, Bakhtiar berkata kepada Sang Raja, “Hamba dapat menghadirkan Khidr, tetapi ada syaratnya!!”

“Apa syarat yang kamu minta itu?” Tanya Sang Raja.

“Baginda harus memberi hamba seribu keping uang emas!!”

Sang Raja setuju dengan persyaratan tersebut, dan memerintahkan salah satu abdinya untuk memberikan seribu keping uang emas kepada Bakhtiar. Lalu ia berkata, “Berapa lama waktu yang engkau perlukan untuk menemukan Khidr?

“Hamba akan mencarinya dalam waktu empatpuluh hari!!” Kata Bakhtiar lagi.

“Baiklah,” Kata Sang Raja, “Kalau engkau berhasil menemukan Khidr dan membawanya kemari, engkau akan mendapat tambahan sepuluh ribu keping uang emas. Tetapi jika engkau gagal, engkau akan mati dipancung di sini, sebagai peringatan bagi orang-orang yang mencoba mempermainkan rajanya!!”

Bakhtiar sudah tidak perduli lagi dengan ancaman tersebut, yang sebenarnya ia sudah menduga sebelumnya. Ia segera pulang dan menyerahkan seribu keping uang emas tersebut kepada istrinya. Ia sudah hampir yakin bahwa ajalnya akan tiba di tangan Sang Raja, empatpuluh hari kemudian. Karena itu sisa waktunya digunakannya untuk merenung, beribadah dan bertobat, mempersiapkan diri dengan amal-amal kebaikan sebagai bekal memasuki alam barzah. Ia telah banyak mendengar tentang Nabi Khidr yang memang tidak bisa dipaksakan kehadirannya, jadi untuk apa sibuk menghabiskan waktu mencarinya. Lebih baik ia terus beribadah dan bertobat, termasuk karena telah “menipu” Sang Raja.

Pada hari yang ditentukan Bakhtiar menghadap Sang Raja. Hatinya telah sangat mantap, empatpuluh hari hanya berkhidmat untuk beribadah kepada Allah, membuatnya tidak ada ketakutan kepada siapapun dan kepada apapun, kecuali kepada Allah saja. Maka kepada Sang Raja ia berkata tegas, “Wahai Raja, kerakusanmu telah menyebabkan engkau berfikir bahwa uang akan bisa mendatangkan Khidr. Tetapi Khidr tidak akan datang karena panggilan yang berdasarkan kerakusanmu itu!!”

Tentu saja Sang Raja amat marah dengan perkataannya tersebut. Bukannya datang untuk memenuhi janjinya, tetapi malah menasehatinya. Ia berkata, “Celaka kau ini, kau telah menyia-nyiakan nyawamu. Siapa pula kau ini beraninya mencampuri urusan seorang raja?”

Sekali lagi Bakhtiar berkata, “Menurut cerita, semua orang mungkin saja bertemu dengan Khidr. Tetapi pertemuan itu hanya ada manfaatnya jika ia mempunyai niat yang tulus dan benar. Seringkali sebenarnya Khidr telah datang di antara kita, tetapi kita tidak bisa memanfaatkan kunjungannya tersebut, dan itulah yang kita tidak bisa menguasainya!!”

Sang Raja makin marah dengan nasehatnya tersebut, ia memerintahkan para pengawal menangkapnya dan menghardik, “Cukup ucapanmu itu. Bualanmu itu tidak akan memperpanjang hidupmu. Engkau hanya tinggal menunggu bagaimana caranya engkau mati saat ini!!”

Sang Raja meminta pendapat para menterinya tentang cara mengeksekusi mati Bakhtiar. Menteri pertama berkata, “Wahai Raja, bakarlah dia hidup-hidup sebagai peringatan bagi yang lainnya!!”

Menteri kedua berkata, “Wahai Raja, potong-potong saja tubuhnya, dan pisah-pisahkan anggota tubuhnya (dimutilasi)…!!”

Menteri ketiga berkata, “Wahai Raja, sediakan saja kebutuhan hidupnya sehingga ia tidak akan pernah menipu lagi demi kelangsungan hidup keluarganya.”

Tengah Sang Raja mendiskusikan masalah tersebut, masuklah seorang tua yang tampak bijaksana. Setelah orang tua itu memberi salam, Sang Raja berkata, “Wahai orang tua, apa maksud kedatanganmu ke sini?”

“Saya hanya ingin mengulas pendapat para menteri anda itu!!”

“Apa maksudmu?” Tanya Sang Raja.

“Menterimu yang pertama itu dahulunya adalah tukang roti, karena itu ia berbicara tentang membakar (memanggang). Menterimu yang kedua dahulunya adalah tukang daging, karena itu ia berbicara tentang memotong. Dan menterimu yang ketiga inilah yang benar-benar mengerti masalah kenegaraan, karena itu ia melihat kepada sumber masalahnya…!!”

Selagi raja dan para hadirin terkejut dengan hakikat para menteri tersebut, orang tua itu berkata lagi, “Hendaklah kalian mencatat dua hal, pertama : Khidr akan datang untuk melayani setiap orang sesuai dengan kemampuan orang itu memanfaatkan kedatangannya. Dan kedua : Bakhtiar ini, ia kuberi (tambahan) nama ‘Baba’ karena pengorbanan yang dilakukannya atas dasar terdesak dan putus asa (dari manusia). Keadaannya yang makin terdesak (yakni, akan dihukum mati) sehingga aku muncul di hadapan kalian semua!!”

Sekali lagi raja dan para hadirin terkejut dengan perkataan orang tua tersebut, yang tak lain adalah Nabi Khidr itu sendiri. Dan sebelum sempat mereka berbuat apa-apa, termasuk keinginan Sang Raja untuk “menangkap jubahnya”, Khidr telah lenyap dari pandangan. Sang Raja sangat menyesal, sebaliknya Bakhtiar merasa sangat gembira karena mendapat nama baru “Baba” langsung dari Khidr sendiri, tanpa ia mengharapkannya. Semacam sebuah “pengesahan” dari apa yang telah dilakukannya sebelumnya.

Khidr As Muncul Karena Ketulusan (2)

Seorang lelaki berniat untuk terjun ke dunia rohani (dunia sufi). Ia mendatangi banyak tempat dimana diadakan pengajian tentang kesufian, membaca banyak kitab-kitab yang berkaitan itu. Telah banyak ucapan-ucapan para guru sufi yang telah didengarnya, banyak pula sikap dan perbuatan yang dilihat dan dipraktekkannya dengan bimbingan para guru itu. Dengan senang hati pula ia melakukan berbagai latihan spiritual dan perintah-perintah peribadatan yang ketat dan keras.

Entah berapa tahun, atau berapa belas tahun yang telah dilaluinya, berkecipung di dunia tasauf. Ia merasa telah banyak memperoleh kemajuan dalam beribadah, tidak sekedar praktek lahiriahnya, tetapi juga rahasia-rahasia rohaniahnya. Namun demikian ia masih bingung, tingkatan apa yang telah dicapainya? Sejauh dan sedalam apa ia telah menempuh dunia rohaniah itu? Kapankah dan dimanakah pencariannya akan berakhir?

Suatu ketika ia berjalan sambil merenungi (muhasabah) dirinya sendiri, segala perbuatan dan tingkah lakunya, mana yang sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya dan mana yang hanya kepura-puraannya semata? Mana yang ia tulus melakukannya, mana pula yang hanya ambisi egonya? Tanpa disadarinya, langkahnya sampai di depan rumah seorang manusia arif (tokoh sufi) yang telah terkenal kebijaksanaannya. Dan, tanpa disadarinya pula, ia berdiri di samping seorang tua, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Khidr AS. Tentu saja ia gembira tidak terkira karena Khidr telah terkenal di kalangan kaum sufi sebagai “Penunjuk jalan rahasia ke arah jalan kebenaran”

Nabi Khidr membawanya ke suatu tempat, di mana ia menyaksikan orang-orang yang tampak sangat berduka dan sengsara. Kepada mereka ini, lelaki itu berkata, “Siapakah kalian ini sebenarnya?”

Salah seorang dari mereka berkata, “Kami adalah orang-orang yang tidak mengikuti ajaran-ajaran yang sejati, kami tidak setia (tidak istiqomah) dengan tugas yang dibebankan kepada kami. Dan kami hanya memuliakan guru-guru yang kami angkat sendiri!!”

Kemudian Nabi Khidr membawanya ke tempat lainnya, di mana ia menyaksikan orang-orang yang wajahnya berseri-seri dan tampak berbahagia. Kepada mereka ini, lelaki itu berkata, “Siapakah kalian ini?”

Salah seorang dari mereka berkata, “Kami adalah manusia-manusia yang tidak menuruti petunjuk-petunjuk jalan kebenaran yang sebenarnya!!”

Tentu saja lelaki itu heran dengan jawaban tersebut, ia berkata, “Kalau memang kalian tidak mengikuti petunjuk-petunjuk itu, bagaimana kalian bisa tampak sangat berbahagia?”

Mereka berkata, “Karena kami lebih memilih kebahagiaan daripada kebenaran. Seperti halnya orang-orang yang memilih guru-guru mereka sendiri, sebenarnya kami memilih jalan kesengsaraan (penyesalan) pula!!”

“Bukankah kebahagiaan itu adalah cita-cita tertinggi dari umat manusia?” Lelaki itu masih tampak tak percaya yang yang dilihatnya, tentunya didasari dengan yang telah diyakininya selama ini.

“Tujuan utama dari umat manusia adalah kebenaran, dan kebenaran itu bukanlah kebahagiaan, ia jauh lebih utama dari kebahagiaan. Seseorang yang telah mencapai kebenaran, dapat memiliki perasaan-perasaan apapun yang diinginkannya, atau membuang semua perasaan-perasaan itu tanpa beban…!!”

Lelaki itu tampak mulai memahami, dan mereka melanjutkan penjelasannya, “Kami telah berpura-pura bahwa kebenaran itu adalah kebahagiaan, dan kebahagiaan itu adalah kebenaran. Banyak sekali orang yang percaya kepada kami, termasuk engkau sendiri mungkin beranggapan demikian. Tetapi percayalah, kebahagiaan itu akan memenjarakan dirimu sebagaimana yang dilakukan oleh kesengsaraan!!”

Setelah pemahaman itu makin meresap ke dalam hatinya, tiba-tiba saja ia telah ada di depan rumah manusia arif seperti sebelumnya, dan Khidr masih berada di sisinya. Khidr berkata, “Aku akan mengabulkan sebuah permintaanmu!!”

Lelaki itu berkata, “Aku ingin tahu mengapa aku telah gagal dalam pencarianku, dan bagaimana aku dapat berhasil?”

Khidr berkata, “Engkau telah menyia-nyiakan hidupmu, karena engkau manusia pembohong. Engkau hanya mencari kepuasan pribadi (ego dan prestise), walau sebenarnya engkau bisa mencari kebenaran!!”

“Namun aku sedang mencari kebenaran itu ketika aku bertemu denganmu, dan hal itu tidak terjadi pada setiap orang!!” Katanya, masih mnecoba membela diri.

“Benar,” Kata Khidr, “Ketulusan hatimu yang cukup besar untuk mencari kebenaran demi kebenran itu sendiri, walau hanya sesaat saja, yang menyebabkan aku datang untuk menemuimu!!”

Mendengar penuturan Khidr itu, ia merasakan kegairahan yang menggelora untuk masuk ke dalam kebenaran dengan segenap ketulusan hatinya. Ia tampak tak perduli walau ia akan tenggelam dalam samudra kebenaran yang tidak berujung itu.

Ketika Khidr beranjak pergi, ia berusaha mengejarnya tetapi Khidr berkata, “Jangan ikuti aku! Aku akan kembali ke dunia yang penuh tipuan, karena di sanalah seharusnya aku berada untuk melaksanakan tugasku!!”

Begitu Khidr lenyap dari pandangan, ia tidak lagi berada di halaman rumah manusia arif seperti sebelumnya, tetapi ia telah berada di negeri kebenaran. 

No comments:

Post a Comment

 
back to top