Thursday, February 14, 2019

Kisah Sahabat Nabi Sa'id Bin Zaid Ra

0 Comments

Sa'id Bin Zaid Ra

Sa'id bin Zaid al Adawy RA merupakan kelompok sahabat yang memeluk Islam pada masa-masa awal, sehingga ia termasuk dalam kelompok as Sabiqunal Awwalun. Ia memeluk Islam bersama istrinya, Fathimah binti Khaththab, adik dari Umar bin Khaththab. Sejak masa remajanya di masa jahiliah, ia tidak pernah mengikuti perbuatan-perbuatan yang umumnya dilakukan oleh kaum Quraisy, seperti menyembah berhala, bermain judi, minum minuman keras, main wanita dan perbuatan nista lainnya.Sikap dan pandangan hidupnya ini ternyata diwarisi dari ayahnya, Zaid bin Amru bin Naufal.

Sejak lama Zaid bin Amru telah meyakini kebenaran agama Ibrahim, tetapi tidak mengikuti Agama Yahudi dan Nashrani yang menurutnya telah jauh menympang dari agama Ibrahim. Ia tidak segan mencela cara-cara peribadatan dan perbuatan jahiliah dari kaum Quraisy tanpa rasa takut sedikitpun. Ia pernah bersandar di dinding Ka'bah ketika kaum Quraisy sedang melakukan ritual-ritual penyembahannya, dan ia berkata, "Wahai kaum Quraisy, apakah tidak ada di antara kalian yang menganut agama Ibrahim selain aku??"

Zaid bin Amru juga sangat aktif menentang kebiasaan kaum Quraisy mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena dianggap sebagai aib, seperti yang pernah dilakukan Umar bin Khaththab di masa jahiliahnya. Ia selalu menawarkan diri untuk mengasuh anak perempuan tersebut. Ia juga selalu menolak memakan daging sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah saat penyembelihannya, dan juga penyembelihan untuk berhala-berhala.

Seakan-akan ia memperoleh ilham, ia pernah berkata kepada sahabat dan kerabatnya, "Aku sedang menunggu seorang Nabi dari keturunan Ismail, hanya saja, rasanya aku tidak akan sempat melihatnya, tetapi saya beriman kepadanya dan meyakini kebenarannya…..!!"

Zaid bin Amru sempat bertemu dan bergaul dengan Nabi Muhammad SAW sebelum beliau dikukuhkan sebagai Nabi dan Rasul, sosok pemuda ini (yakni, Nabi Muhammad SAW) sangat mengagumkan bagi dirinya, di samping akhlaknya yang mulia, pemuda ini juga mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya tentang kebiasaan dan ritual jahiliah kaum Quraisy. Tetapi Zaidmeninggal ketika Kaum Quraisy sedang memperbaiki Ka'bah, yakni, ketika Nabi SAW berusia 35 tahun.

Dengan didikan seperti itulah Sa'id bin Zaid tumbuh dewasa, maka tak heran ketika Nabi SAW menyampaikan risalahnya, ia dan istrinya langsung menyambut seruan beliau. Tak ada ketakutan dan kekhawatiran walau saat itu kaum Quraisy melancarkan siksaan yang tak terperikan kepada para pemeluk Islam, termasuk Umar bin Khaththab, kakak iparnya sendiri yang merupakan jagoan duel di pasar Ukadz. Hanya saja ia masih menyembunyikan keislamannya dan istrinya. Sampai suatu ketika Umar yang bertemperamen keras itu mengetahuinya juga.

Ketika itu Sa'id dan istrinya sedang mendapatkan pengajaran al Qur'an dari sahabat Khabbab bin Arats,tiba-tiba terdengar ketukan, atau mungkin lebih tepat gedoran di pintu rumahnya. Ketika ditanyakan siapa yang mengetuk tersebut, terdengar jawaban yang garang, "Umar..!!"

Suasana khusyu' dalam pengajaran al Qur'an tersebut menjadi kacau, Khabbab segera bersembunyi sambilterus berdoa memohon pertolongan Allah untuk mereka. Sa'id dan istrinya menuju pintu sambil menyembunyikan lembaran-lembaran mushaf di balik bajunya. Begitu pintu dibuka oleh Sa'id, Umar melontarkan pernyataan keras dengan sorot mata menakutkan, "Benarkan desas-desus yang kudengar, bahwa kalian telah murtad?"

Sebelum kejadian itu, sebenarnya Umar telah membulatkan tekad untuk membunuh Nabi SAW. Kemarahannya telah memuncak karena kaum Quraisy jadi terpecah belah, mengalami kekacauan dan kegelisahan, penyebab kesemuanya itu adalah dakwah Islamiah yang disampaikan Nabi SAW. Dalam pemikiran Umar, jika ia menyingkirkan/membunuh beliau, tentulah kaum Quraisy kembali tenang seperti semula. Tetapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Nu'aim bin Abdulah yang memberitahukan kalau adiknya, Fathimah dan suaminya telah memeluk Islam. Nu'aim menyarankan agar ia mengurus kerabatnya sendiri saja, sebelum mencampuri urusan orang lain. Karena itu, tak heran jika kemarahan Umar itu tertumpah kepada keluarga adiknya ini.

Sebenarnya Sa'id melihat bahaya yang tampak dari sorot mata Umar. Tetapi keimanan yang telah merasuk seolah memberikan tambahan kekuatan yang terkira. Bukannya menolak tuduhan, ia justru berkata, "Wahai Umar, bagaimana pendapat anda jika kebenaran itu ternyata berada di pihak mereka ??"

Mendengar jawaban itu, Umar langsung menerkam Sa'id, memutar kepalanya kemudian membantingnya ke tanah, setelah itu Umar menduduki dada Sa'id. Sepertinya Umar ingin memberikan pukulan pamungkas untuk Sa'id, seperti kalau ia mengakhiri perlawanan musuhnya ketika sedang berduel di pasar Ukadz. Fathimah mendekat untuk membela suaminya, tetapi ia mendapat tinju keras Umar di wajahnya sehingga terjatuh dan darah mengalir dari bibirnya. Keadaan Sa'id sangat kritis, ia bukan lawan duel sebanding dengan Umar, dan ia hanya bisa pasrah jika Umar akan menghabisinya.

Tetapi tiba-tiba terdengar pekikan keras istrinya, Fathimah. Bukan ketakutan, tetapi pekikan perlawanan dan permusuhan dengan penuh keberanian, "Hai musuh Allah, kamu berani memukul saya karena saya beriman kepada Allah…! Hai Umar, perbuatlah yangkamu suka, karena saya akan tetap bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalahRasullullah…!"

Umar tersentak bagai disengat listrik, pekikan itu seakan menembus ulu hatinya … terkejut dan heran. Umar bin Khaththab seakan tak percaya, wanita lemah ini, yang tidak lain adiknya sendiri berani menentangnya. Tetapi justru dari keheranan dan ketidak-percayaannya ini, amarahnya menjadi reda, dan kemudian menjadi titik balik ia memperoleh hidayah dan akhirnya memeluk Islam.

Sebagaimana sahabat-sahabat yang memeluk Islam pada masa awal, Sa’id bin Zaid merupakan sosok yang banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah, seorang alim yang sangat zuhud. Hampir tidak pernah tertinggal dalam berbagai pertempuran dalam menegakkan panji-panji keimanan. Ia tidak mengikuti perang Badar, karena saat itu ia ditugaskan Nabi SAW untuk tugas mata-mata ke Syam bersama Thalhah bin Ubaidillah. Tetapi beliau menetapkannya sebagai Ahlul Badr dan memberikan bagian ghanimah dari perang Badar, walau secara fisik tidak terjun dalam pertempuran tersebut. Ada tujuh sahabat lainnya seperti Sa'id, tidak mengikuti perang Badar, tetapi Nabi SAW menetapkannya sebagai Ahlul Badr.

Sa'id juga termasuk dalam kelompok sepuluh sahabat yang dijamin oleh Nabi SAW akan masuk surga dalam masa hidupnya. Sembilan sahabat lainnya adalah, empat sahabat Khulafaur Rasyidin, Abdurrahman bin Auf, Sa'd bin Abi Waqqash, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abu Ubaidah bi Jarrah R.Hum.

Sa'id sempat mengalami masa kejayaan Islam, di mana wilayah makin meluas dan makin banyak lowongan jabatan. Sesungguhnyalah ia pantas memangku salah satu dari jabatan-jabatan tersebut, tetapi ia memilih untuk menghindarinya. Bahkan dalam banyak pertempuran yang diterjuninya, ia lebih memilih menjadi prajurit biasa. Dalam suatu pasukan besar yang dipimpin oleh Sa'd bin Abi Waqqash, setelah menaklukan Damaskus,Sa'd menetapkan dirinya sebagai wali negeri/gubernur di sana. Tetapi Sa'id bin Zaid meminta dengan sangat kepada komandannya itu untuk memilih orang lain memegang jabatan tersebut, dan mengijinkannya untuk menjadi prajurit biasa di bawah kepemimpinannya. Ia ingin terus berjuang menegakkan kalimat Allah dan panji-panji kebenaran, suatu keadaan yang tidak bisa dilakukannyan jika ia memegang jabatan wali negeri.

Seperti halnya jabatan yang dihindarinya, begitu juga dengan harta dan kemewahan dunia. Tetapi sejak masa khalifah Umar, harta kekayaan datang melimpah-ruah memenuhi Baitul Mal (Perbendaharaan Islam), sehingga mau tidak mau, sahabat-sahabat masa awal seperti Sa’id bin Zaid akan memperoleh bagian juga. Bahkan khalifah Umar memberikan jatah (bagian) lebih banyak daripada bagian sahabat yang memeluk Islam belakangan, yaitu setelah terjadinya Fathul Makkah. Namun, setiap kali ia memperoleh pembagian harta atau uang, segera saja ia menyedekahkannya lagi, kecuali sekedarnya saja.

Namun dengan cara hidupnya yang zuhud itu, masih juga ada orang yang memfitnah dirinya bersikap duniawiah. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Muawiyah, ketika ia telah menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk beribadah di Madinah. Seorang wanita bernama Arwa binti Aus menuduh Sa’id telah merampas tanah miliknya. Pada mulanya Sa’id tidak mau terlalu perduli atau melayani tuduhan tersebut, ia hanya membantah sekedarnya dan menasehati wanita itu untuk tidak membuat kedustaan. Tetapi wanita itu tetap saja dengan tuduhannya, bahkan ia melaporkan kepada gubernur Madinah.

Marwan bin Hakam, gubernur Madinah yang masih paman dari Muawiyah, atas laporan Arwa bin Aus itu memanggil Sa’id untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya. Setelah menghadap, Sa’id membantah tuduhan itu, ia berkata, “Apakah mungkin aku mendzalimi wanita ini (yakni merampas tanahnya), sedangkan aku mendengar sendiri Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang mendzalimi seseorang dengan sejengkal tanah, maka Allah akan melilitnya dengan tujuh lingkaran bumi pada hari kiamat kelak!!”

Sa’id memang meriwayatkan beberapa hadits Nabi SAW, termasuk hadits yang dijadikan hujjahnya itu. Ada hadits senada lainnya yang juga diriwayatkannya, yakni : Barang siapa yang berbuat dzalim terhadap sejengkal tanah, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapis bumi, dan barang siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia mati syahid.

Kemudian Sa’id berbalik menghadap kiblat dan berdoa, “Ya Allah, apabila dia (wanita itu) sengaja membuat-buat kebohongan ini, janganlah engkau mematikan dirinya kecuali setelah ia menjadi buta, dan hendaklah Engkau jadikan sumurnya sebagai kuburannya…!!”

Beberapa waktu kemudian Arwa binti Aus menjadi buta, dan dalam keadaan seperti itu ia terjatuh ke dalam sumur miliknya sendiri dan mati di dalamnya. Sebenarnya saat itu Sa’id berdoa tidak terlalu keras, tetapi beberapa orang sempat mendengarnya. Mereka segera saja mengetahui kalau Sa’id bin Zaid dalam kebenaran, dan doanya makbul. Namanya dan kebaikannya jadi semakin dikenal, dan ia banyak didatangi orang untuk minta didoakan.

Seperti halnya jabatan dan harta kekayaan, ke-terkenal-an (popularitas) juga tidak disukai oleh Sa’id bin Zaid ini. Walaupun ia sebagai sahabat as sabiqunal awwalin, selalu berjuang dan berjihad di jalan Allah setiap kali ada kesempatan, dan menghabiskan waktu dengan ibadah ketika sedang ‘menggantungkan pedang’, bahkan telah dijamin masuk surga oleh Rasulullah SAW ketika masih hidup bersama (hanya) sembilan sahabat lainnya, tetapi ia tidak terlalu menonjol dan terkenal dibanding sahabat-sahabat lainnya yang memeluk Islam belakangan, seperti misalnya Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Salman al Farisi dan lain-lainnya. Hal ini terjadi karena ia memang lebih suka ‘menyembunyikan diri’, lebih asyik menyendiri dalam ibadah bersama Allah, walau secara lahiriah ia berada di antara banyak sahabat lainnya. Setelah peristiwa dengan Arwa bin Aus dan banyak orang yang mendatangi dirinya, Sa’id merasa tidak nyaman. Apalagi kehidupan kaum muslimin saat itu, walau tinggal di Madinah, tetapi makin banyak saja yang ‘mengagung-agungkan’ kemewahan dunia. Jejak kehidupan Nabi SAW dan para sahabat masa awal, baik dari kalangan Muhajirin ataupun Anshar, yang selalu sederhana dan zuhud terhadap dunia sedikit demi sedikit mulai memudar. Karena itu Sa’id pindah ke daerah pedalaman, yakni di Aqiq, dan ia wafat di sana pada tahun 50 atau 51 hijriah. Tetapi jenazahnya dibawa pulang ke Madinah oleh Sa'd bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar, keponakannya sendiri, kemudian dimakamkan di Baqi, di antara beberapa sahabat Rasulullah SAW lainnya. 

Kisah Sahabat Nabi Sawad Bin Ghaziyyah Ra

0 Comments

Sawad Bin Ghaziyyah Ra

Sawad bin Ghaziyyah RA adalah salah seorang Ahlul Badar, dan termasuk dari sedikit sahabat yang menemui syahidnya di medan Perang Badar itu. Pada hari berlangsungnya pertempuran ketika sedang persiapan pasukan, Nabi SAW mengatur barisan dan meluruskannya, seperti ketika meluruskan shaf-shaf shalat. Saat tiba di tempat Sawad, beliau melihat kalau posisinya agar bergeser, tidak lurus dengan anggota pasukan lainnya. Beliau memukul perut Sawad dengan anak panah sambil bersabda, "Luruskan barisanmu, wahai Sawad…!!"

Tetapi tanpa diduga oleh siapapun, tiba-tiba Sawad berkata, "Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku, maka berilah kesempatan kepadaku untuk membalasmu (meng-qishash-mu)..!!"

Para sahabat terkejut, dan sebagian besar marah dengan ucapan Sawad ini, apalagi Umar bin Khaththab. Nabi SAW sendiri sebenarnya terkejut dengan sikapnya itu, tetapi beliau menenangkan mereka. Sambil menyerahkan anak panah yang dipakai memukul, beliau bersabda, "Kalau begitu, balaslah wahai Sawad…!!"

Sambil menerima anak panah dari tangan Nabi SAW, Sawad berkata, "Wahai Rasulullah, engkau memukulku di perut yang tidak tertutup kain, karena itu hendaklah engkau singkapkan baju engkau..!!"

Para sahabat makin marah dengan sikap dan kemauan Sawad yang tidak sepatutnya ini. Tetapi Nabi SAW tetap menenangkan mereka dan memenuhi permintaan Sawad. Setelah beliau menyingkapkan baju beliau, Sawad segera melemparkan anak panah tersebut dan memeluk perut Nabi SAW dengan erat sambil menangis bahagia,sekaligus meminta maaf kepada beliau. Sekali lagi Nabi SAW dibuat terkejut dengan tindakan Sawad yang tidak tersangka-sangka ini. Beliau berkata, "Apa-apaan engkau ini, Sawad….??"

Sawad berkata, "Inilah yang aku inginkan, ya Rasulullah, telah lama aku berharap kulitku yang hina ini bisa bersentuhan dengan kulit engkau yang mulia, dan aku bersyukur bisa melakukannya, semoga ini menjadi saat-saat terakhir dalam hidupku bersama engkau….!!"

Nabi SAW tersenyum mendengar jawaban Sawad ini, karena apa yang dilakukannya adalah ekspresi kecintaannya kepada Nabi SAW. Segera saja beliau mendoakan kebaikan dan ampunan bagi Sawad.

  Ketika pertempuran mulai berkobar, Sawad segera menghambur ke barisan kaum musyrikin yang jumlahnya jauh lebih besar, yakni lebih dari tiga kali lipat banyaknya. Dengan semangat jihad yang begitu menggelora dan keinginan untuk mencapai syahid di jalan Allah, ia menyerang musuh tanpa sedikitpun rasa takut. Luka tikaman dan sayatan senjata tidak langsung menghentikan langkahnya untuk menghadang serangan kaum musyrikin. Sawad baru berhenti berjuang ketika kakinya tidak lagi mampu menyangga tubuhnya, tangannya tak lagi mampu menggerakkan pedang akibat terlalu banyaknya luka-luka dan darah yang mengucur dari tubuhnya. Namun demikian mulutnya tampak tersenyum ketika tubuhnya roboh ke tanah, karena ruhnya langsung disambut para malaikat yang langsung mengantarnya ke hadirat Allah. 

Kisah Sahabat Nabi Itban Bin Malik Ra

0 Comments

Itban Bin Malik Ra

Itban bin Malik RA adalah salah seorang sahabat Ahlul Badar, dan ia ditugaskan Nabi SAW untuk menjadi imam dalam shalat jamaah di masjid kaumnya, Bani Salim. Untuk sampai ke masjid/mushalla kaumnya itu, Itban harus melaluisuatu lembah. Jika turun hujan, ia mengalami kesulitan untuk melewati lembah tersebut, tetapi tetap saja ia melakukannya untuk sampai ke masjid dan melaksanakan tugas yang diberikan Rasulullah SAW kepadanya.

Ketika usianya makin tua dan penglihatannya mulai berkurang, ia benar-benar merasa kesulitan untuk mendatangi masjid Bani Salim, terutama kalau sedang hujan, karena biasanya terjadi banjir atau banyaknya genangan air pada lembah yang harus dilaluinya. Karena itu ia bermaksud meminta keringanan kepada Nabi SAW atas tugas yang beliau berikan kepadanya. Apalagi di masjid Bani Salim tersebut telah ada beberapa orang lainnya yang bisa menggantikan tugasnya mengimami shalat jamaah.

Itban bin Malik datang ke Madinah untuk menemui Rasulullah SAW, dan menyampaikan maksudnya tersebut. Rasulullah SAW memahami kesulitan Itban dan memenuhi permintaannya. Kemudian Itban berkata lagi, "Wahai Rasulullah, saya mohon tuan datang ke rumah saya, saya ingin menjadikan sebagian rumah saya untuk mushalla…"

Sekali lagi Nabi SAW memenuhi permintaan Itban, dan berjanji untuk mendatangi rumahnya esok harinya. Keesokan harinya, ketika hari tidak begitu panas lagi, Nabi SAW bersama Abu Bakar datang ke rumah Itban. Setelah dipersilahkan masuk, beliau tidak langsung duduk tetapi justru bersabda, "Dimana tempat yang engkau harapkan aku akan shalat?"

Itban mengantar Nabi SAW pada tempat disiapkan untuk mushalla, beliau berdiri dan bertakbir, ia dan Abu Bakar berdiri di belakang beliau ikut shalat juga. Beliau shalat sunnah dua rakaat, usai shalat, Itban mempersilahkan dua tamunya yang mulia ini makan bubur gandum yang telah disiapkannya.

Penduduk kampung Itban yang mendengar kabar kehadiran Nabi SAW dan Abu Bakar, berbondong-bondong datang ke rumah Itban menemui beliau. Tetapi ada salah seorang warga yang berkata, "Apa gerangan yang sedang dilakukan Ibnu Malik..??"

Seorang warga lainnya menyahuti, "Dia sih orang munafik, yang tidak cinta kepada Allah dan RasulNya…!!"

Rasulullah SAW yang mendengar pembicaraan tersebut bersabda, "Janganlah kalian berkata seperti itu, apakah kalian tahu, dia (Itban) mengucapkan Laa ilaaha illallaah itu dengan tujuan mengharapkan keridhaan Allah?"

"Allah dan RasulNya lebih mengetahui…" Kata salah seorang dari mereka, tetapi kemudian ia berkata lagi, "Adapun kami, demi Allah, tidaklah kami mengetahui pembicaraan dan kecintaannya melainkan condong kepada orang-orang munafik..!!"

Melihat prasangka-prasangka yang berkembang seperti itu, beliau bersabda menegaskan, "Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang-orang yang mengatakan : Laa ilaaha illallaah Muhammadur rasulullah, dengan tujuan untuk memperoleh keridhaan Allah…!!" 

Kisah Sahabat Nabi Asma Binti Abu Bakar Ra

0 Comments

Asma Binti Abu Bakar Ra

Asma binti Abu Bakar, adalah putri Abu Bakar dari istrinya, Qutailah binti Abdul Uzza al Amiriyyah yang telah diceraikan semasa jahiliah. Ia lebih tua sepuluh tahun dari adiknya Aisyah RA, salah satu dari Ummahatul Mukminin. Ketika Abu Bakar dan Rasulullah SAW berangkat hijrah ke Madinah, mereka berdua bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari. Kaum Quraisy yang kehilangan jejak mereka berdua mendatangi rumah Abu Bakar, begitu pintu dibuka oleh Asma binti Abu Bakar, Abu Jahal berkata, "Dimana ayahmu??"

"Demi Allah, aku tidak tahu dimana ayahku berada…!!" Kata Asma.

Abu Jahal sangat marah dengan jawaban singkat ini, ia mengangkat tangannya dan menampar dengan keras pipi Asma sehingga anting-antingnya terlepas. Setelah itu mereka berlalu dan memerintahkan untuk memblokadesemua jalan keluar dari Makkah.

Tidak lama kemudian, kakeknya Abu Quhafah, ayah dari Abu Bakar, mendatangi cucunya tersebut karena ia mendengar kalau Abu Bakar telah meninggalkan Kota Makkah. Ia khawatir kalau cucu-cucunya terlantar setelah ditinggal pergi ayahnya. Ia menanyakan kepada Asma tentang harta yang ditinggalkan untuk biaya kehidupan mereka. Asma sangat memahami kekhawatiran yang dirasakan oleh kakeknya ini, dan sebenarnyalah Abu Bakar telah membawa hampir semua harta kekayaannya sebanyak 6.000 dirham. Karena ia bersiasat untuk menenangkan hati kakeknya. Ia meletakkan batu kerikil di lubang penyimpanan uang ayahnya dan menutupinya dengan kain. Setelah itu ia menuntun kakeknya yang telah buta tersebut dan meletakkan tangannya di lubang penyimpanan uang sambil berkata, "Inilah harta yang ditinggalkan untuk kami, Kakek!!"

Abu Quhafah meraba kerikil yang tertutup kain dalam lubang penyimpanan, dan menganggapnya sebagaiuang dirham yang cukup banyak.Karena itu ia berkata, "Baguslah kalau ia meninggalkan ini untuk kalian…!!"

Setelah bersembunyi selama tiga hari di Gua Tsur, Nabi SAW dan Abu Bakar memutuskan untuk berangkat ke Madinah. Asma mempersiapkan perbekalan, makanan dan minuman untuk perjalanan beliau dan ayahnya, lalu membawanya ke Gua Tsur. Tetapi ia lupa tidak membawa tali untuk mengikatkan perbekalan tersebut ke tunggangan, karena itu ia membelah dua ikat pinggangnya. Satu potong digunakan untuk mengikat perbekalan ke tunggangan, satunya lagi dipakainya sebagai ikat pinggang. Melihat apa yang dilakukannya ini, Nabi SAW menggelarinya "Dzaatun Nithaaqain" (yangmemiliki dua ikat pinggang).

Semua peristiwa itu terjadi ketika Asma dalam keadaan hamil, bahkan suaminya, Zubair bin Awwam telah terlebih dahulu hijrah bersama kaum muslimin lainnya, sebagaimana diperintahkan Rasulullah SAW. Sungguh pengorbanan yang tidak terkira dari wanita perkasa ini. Dan semua itu dilakukannya dengan ringan dan ikhlas, karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Beberapa hari berlalu setelah peristiwa itu, saat itu Nabi SAW beserta Abu Bakar telah meninggalkan tenda Ummu Ma'bad, terdengar suara yang menggema seantero Makkah, suara syair yang diucapkan berulang-ulang, "Allah Penguasa Arsy melimpahkan pahala yang terbaik, dua orang yang lemah lembut lewat di tenda Ummu Ma'bad, mereka melanjutkan perjalanan setelah singgah sejenak, sungguh beruntung orang yang menyertai Nabi Muhammad (SAW), ceritakan apa yang disingkirkan Allah dari kalian, karena perbuatan orang-orang yang tidak mendapatbalasan, Bani Ka'b benar-benar menjadi hina karena anak-anak gadisnya, tanah yang subur adalah tempat dudukbagi mereka yang percaya, tanyalah saudari kalian tentang domba dan bejananya, jika kalian tanyakan domba itu tentu akan melihatnya…"

Hampir semua penduduk Makkah keluar dari rumahnya untuk mencari siapa gerangan yang mengucapkan syair tersebut, tetapi mereka tidak bisa menemukan seorangpun. Padahal syair itu masih saja jelas terdengar, dan mereka bisamengikuti jejak suaranya yang berpindah-pindah. Asma binti Abu Bakar juga keluar dari rumahnya, dan ia melihat sosok laki-laki yang bergerak cepat di dataran rendah Makkah sambil melantunkan syair tersebut. Tidak berapa lama ia telah tampak di dataran tinggi Makkah, masih tetap melantunkan syair tersebut. Namun demikian hanya Asma yang melihatnya, sementara penduduk Makkah lainnya hanya menemukan jejak-jejaknya di pasir, dan juga jejak suaranya. Melihat gerakannya yang cepat, tentulah ia bukan manusia biasa, layaknya jin saja atau malaikat, Wallahu alam. Yang jelas, dari syair-syair tersebut, Asma dan orang-orang muslim yang masih tinggal di Makkah mengetahui bahwa Nabi SAW berada dalam perjalanan ke Madinah, dan berada di jarak yang aman dari pengejaran kaum Quraisy.

Beberapa hari berlalu, setelah suasana kota menjadi tenang kembali karena hijrahnya Nabi SAW dan Abu Bakar, Asma dan saudara-saudaranya menyusul hijrah ke Madinah beserta beberapa orang muslim yang masih tertinggal. Setelah beberapa hari tinggal di Madinah, ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Abdullah. Kaum muslimin, baik dari kalangan Anshar ataupun Muhajirin menyambut gembira kelahiran Abdullah bin Zubair seakan memperoleh "durian runtuh", mereka mengelu-elukannya bahkan membawanya keliling kota Madinah melewati kampung-kampung orangYahudi. Apa sebabnya begitu "heboh" penyambutan kelahiran bayi Asma ini?

Orang-orang Yahudi di Madinah ternyata tidak senang dengan kehadiran Nabi SAW dan kaum Muhajirin di sana. Mereka mengatakan bahwa dukun-dukun Yahudi telah menyihir orang-orang muslim tersebut sehingga mereka semua akan mandul. Karena itulah ketika Asma melahirkan putranya, kaum muslimin menyambutnya dengan gegap-gempita dan membawanya melewati kampung-kampung Yahudi untuk membuktikan bahwa apa yang mereka katakan hanyalah kebohongan semata-mata.

Asma sempat mengalami masa-masa sulit dalam kehidupannya, kemudian berbalik menjadi kelimpahan, tetapi semua itu tidak merubah kesalehannya dan ia tetap teguh memegang kebenaran. Allah memanjangkan usia Asma dan ia mengalami masa-masa fitnah, hingga saat beralihnya kekuasaan ke tangan dinasti Bani Umayyah. Ketika iamelahirkan putranya, Abdullah bin Zubair, dan putranya tersebut dibawa kepada Rasulullah SAW, beliau melihat suatu gambaran jalan kehidupan putranya tersebut, beliau bersabda tentang Abdullah bin Zubair, "Dia laksana domba, yang dikelilingi oleh harimau yang berbulu domba….!!"

Setelah peristiwa Karbala dan Harrah di Madinah, disusul kemudian dengan kematian Yazid bin Muawiyah, masyarakat Hijaz dan sekitarnya memba'iat putra Asma, Abdullah bin Zubair, sebagai khalifah dengan kedudukannya di kota Makkah. Sementara di Syam, Bani Umayyah mengangkat Marwan bin Hakam, kemudian digantikan olehputranya, Abdul Malik bin Marwan. Khalifah Abdul Malik ini membentuk pasukan besar berkekuatan 40.000 orang dengan komandannya yang bengis dan kejam, Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi, untuk menyerang Makkah, khususnya untuk membunuh Abdullah bin Zubair.

Pasukan Syam ini melakukan pengepungan kota Makkah selama berbulan-bulan sambil menyerangnya dengan manjaniq (katapel besar dengan peluru batu-batuan dan terkadang berapi), sehingga sebagian Masjidil Haram dan Ka'bah mengalami kerusakan.Akibat pengepungan ini, sebagian besar anggota pasukan Ibnu Zubair menyerah atau membelot ke pasukan Hajjaj karena kekurangan makanan dan kelaparan. Tetapi ada juga karena berbagai tawaran kenikmatan duniawiah yang ditawarkan oleh Hajjaj.

Para pengikut yang setia mendampingi Ibnu Zubair makin sedikit, dan ia mengkhawatirkan keselamatan mereka. Tetapi mereka ini tidak mau meninggalkannya sendirian sebagaimana teman-temannya walau nyawa harus menjadi taruhannya. Abdullah bin Zubair menemui ibunya, Asma binti Abu Bakar yang telah berusia sekitar 97 tahun dan telah buta matanya, untuk mendiskusikan masalah yang dihadapinya.

Ibnu Zubair menceritakan situasi yang sedang dihadapinya itu kepada ibunya, dan berbagai kemungkinan yang terjadi pada pasukan yang dipimpinnya, yang jumlahnya memang sangat sedikit. Mendengar penuturan putranya tersebut, Asma jadi teringat dengan "ramalan" Nabi SAW saat melahirkannya. Inilah masa yang digambarkan oleh Rasulullah SAW untuk putranya, dan ternyata ia ditakdirkan untuk menyaksikan kejadian tragis tersebut.

Sebagai seorang ibu yang berhati tegar dan sangat teguh memegang kebenaran, Asma berkata, "Demi Allah, wahai anakku, engkau lebih tahu tentang dirimu. Jika engkau berada di jalan kebenaran, danengkau menyeru kepada kebenaran tersebut, teruskanlah langkahmu, sahabat-sahabatmu telah banyak yang gugur demi kebenaran tersebut. Janganlah engkau mau dipermainkan oleh budak-budak Bani Umayyah. Tetapi jika sebaliknya, engkau hanya menginginkan dunia, engkau adalah seburuk-buruknya orang yang mencelakakan dirimu sendiri dan juga orang-orang yang berjihad bersamamu…"

Tentu saja Abdullah bin Zubair bukan tipe yang kedua, yang hanya mementingkan kepentingan duniawiah. Ketika ia menyatakan kekhawatirannya bahwa Hajjaj akan menyalib dan menyayat-nyayat tubuhnya setelah kematiannya, dengan tegas ibu yang perkasa ini berkata, "Wahai anakku, sesungguhnya kambing itu sama sekali tidak merasakan sakitnya dikuliti setelah ia disembelih. Teruskanlah langkahmu, dan mintalah petolongan kepada Allah…!!"

Abdullah bin Zubair menjadi lega, karena sesungguhnya yang dikhawatirkan adalah perasaan ibunya. Sesaat kemudian Asma berkata lagi kepada putranya, "Aku memohon kepada Allah, semoga ketabahan hatiku ini menjadi kebaikan bagimu, baik engkau yang mendahului aku menghadap Allah, atau aku yang mendahuluimu…."

Sesaat kemudian Asma berdoa, "Ya Allah, semoga ibadahnya sepanjang malam, dan puasanya sepanjang siang, serta baktinya kepada dua orang tuanya, Engkau menerimanya disertai dengan cucuran Rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala sesuatutentang dirinya kepada kekuasaan-Mu, dan aku rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah, berilah aku pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Zubair ini, pahalanya orang-orang yang sabar dan bersyukur…."

Dengan ucapan dan doa yang dipanjatkan ibunya ini, langkah dan hati Ibnu Zubair terasa lepas, tidak adalagi ganjalan apapun pada dirinya untuk memperoleh kesyahidan yang didambakannya.Mereka berpelukan, dan demi diketahuinya bahwa anaknya masih memakai baju besi, Asma memerintahkan untuk melepaskannya, sambil berkata, "Apa-apaan ini Abdullah..!! Orang yang memakai ini, hanyalah mereka yang tidak menginginkan apa yang sebenarnya engkau inginkan…!!"

Ibnu Zubairpun melepaskan baju besi yang dipakaianya. Setelah mengucapkan salam perpisahan dengan ibunya, ia bersama sisa pasukannya yang tidakseberapa terjun menghadapi pasukan Hajjaj. Dan seperti telah diperkirakan, mereka menemui syahidnya di Tanah Haram Makkah, dan Hajjaj menyalib serta menyayat tubuhnya. Asma dengan tegar berdiri di tempat penyaliban putranya, sambil terus mendoakan ampunan bagi dirinya. Sementara itu Hajjaj mendekati Asma sambil berendah diri dan berkata, "Wahai Ibu, Amirul mukminin Abdul Malik bin Marwan memberiku wasiat untuk memperlakukan ibu dengan baik…maka, apakah ada keperluan ibu kepada kami?"

Dengan suara tegas berwibawa, Asma berkata, "Aku bukan ibumu, aku adalah ibu dari orang yang engkau salib dalam tiang karapan itu….Hanya aku ingin menyampaikan satu ucapan Rasulullah SAW kepadamu, beliau bersabda : ' Akan muncul dari Tsaqif, seorang pembohong dan seorang durjana/bengis…'Tentang siapa pembohong itu, telah kita ketahui bersama..(yakni, Mukhtar binAbi Ubaid ats Tsaqafi yang mengaku sebagai nabi). Sedangkan sang durjana/bengis, sepengetahuankuadalahengkau orangnya….!!"

Hajjaj tidak berkutik dengan perkataan Asma ini dan ia berpaling pergi. Kemudian Asma memerintahkan untuk menurunkan jenazah anaknya dan menguburkan dengan layak. Tetapi sebagian riwayat lain menyebutkan, Hajjaj memenggal kepala Ibnu Zubair, dan mempersembahkannya kepada Abdul Malik bin Marwan di Syam.

Asma binti Abu Bakar wafat beberapa hari setelah kematian putranya tersebut, yakni tanggal 17 Jumadil Awal tahun 73 hijriah. Menurut sebagian riwayat, ia merupakan sahabiah (sahabat wanita) yang paling terakhir meninggal dunia 

Kisah Sahabat Nabi Abdullah Bin Zubair Ra

0 Comments

Abdullah Bin Zubair Ra

Abdullah bin Zubair RA merupakan salah satu sosok sahabat yang istimewa, karena ia berhijrah ketika dalam kandungan ibunya. Ibunya pun seorang yang istimewa, Asma binti Abu Bakar, yang mempunyai peran besar ketika Nabi SAW dan Ayahnya dalam awal hijrah dicari-cari oleh orang kafir Quraisy untuk dibunuh. Ayahnya adalah seorang sahabat yang dijamin masuk surga ketika masih hidup, salah satu dari sepuluh sahabat, Zubair bin Awwam RA.

Allah menambah keistimewaannya karena ia menjadi bayi pertama yang lahir di masa hijrah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana beratnya Asma binti Abu Bakar berhijrah, ia dalam keadaan hamil tua ketika harus menempuh panasnya padang pasir sejauh hampir 500 km. Ketika baru beberapa hari di Quba, ia melahirkan dan bayinya dibawa kepada Nabi SAW. Beliau mengecup pipi dan mulutnya, hingga air liur Rasulullah SAW memasuki rongga mulutnya, dan memberi nama ‘Abdulah’.

Tidak cukup sampai disitu saja, seluruh kaum muslimin, baik Muhajirin atau Anshar, menggendong bayi Abdullah ini keliling kota Madinah sambil menggemakan tahlil dan takbir. Apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata, Beberapa waktu sebelumnya orang-orang Yahudi menyebarkan berita bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir kaum muslimin hingga menjadi mandul. Bagi penduduk Madinah, ancaman ini bukan hal sepele, karena selama ini mereka menganggap kaum Yahudi sebagai orang yang ‘dekat’ dengan Tuhan. Tetapi dengan kelahiran Abdullah ini, mereka memperoleh bukti bahwa orang-orang Yahudi tersebut hanya menyebarkan kabar bohong semata.

Ibnu Zubair hanya dalam masa kanak-kanak ketika Rasulullah SAW masih hidup, tetapi itu cukup membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang kokoh dan teguh dengan keislaman, sebagaimana kedua orang tuanya. Ia berba'iat kepada Nabi SAW ketika masih berusia 7 tahun, dan beliau menerima ba'iatnya, padahal biasanya beliau tidakmau menerima ba'iat dari anak-anak. Ia tumbuh menjadi seorang ahli ibadah sebagaimana orangtuanya, dan sahabat sahabat senior Nabi SAW lainnya. Kesehariannya banyak diisinya dengan membaca dan mengkaji Al Qur'an, serta sunnah Nabi SAW, memperbanyak ibadah dan berpuasa di hari-hari yang panas karena rasa takutnya kepada Allah. Ketika sedang shalat, yakni saat sedang ruku dan sujud, tak jarang burung-burung dara bertengger di punggungnya tanpa sedikitpun merasa terganggu shalatnya.

Suatu ketika Rasulullah SAW berbekam, dan menyuruh Ibnu Zubair untuk membuang atau mengubur darah yang dikeluarkan dari kepala beliau. Ibnu Zubair membawanya, tetapi bukannya membuang ia justru meminumnya. Ketika Nabi SAW kemudian mengetahuinya, beliau bertanya, "Wahai Abdullah, engkau kemanakan darah bekamku tadi?"

Ibnu Zubair berkata, "Aku kuburkan di tempat yang paling tersembunyi, Ya Rasulullah.."

Nabi SAW yang telah mengetahui apa yang dilakukan Ibnu Zubair hanya tersenyum, lalu bersabda, "Orang yang di dalamnya mengalir darahku, maka dia tidak akan disentuh api neraka…"

Sesaat Rasulullah SAW tercenung, seperti menerawang jauh, kemudian bersabda lagi, "Tetapi bagaimanapun engkau akan membunuh orang, atau orang itu yang akan membunuhmu."

Sabda Nabi SAW semacam ramalan bagaimana akhir kehidupan Ibnu Zubair. Bahkan saat kelahirannya, beliau pernah mengibaratkan bahwa Ibnu Zubair ini seperti seekor domba yang dikelilingi harimau yang berbulu domba.

Pada masa khalifah Utsman bin Affan, ia bergabung dengan pasukan muslim yang dipersiapkan untuk menyerang pasukan Romawi yang berjumlah 200.000 orang, sementara pasukan muslim sendiri hanya 20.000 orang. Pimpinan pasukan adalah gubenur Mesir, Abdullah bin Abi Sarah. Pasukan ini ditujukan untuk membebaskan Afrika, Andalusia dan Konstantinopel dari penjajahan dan tirani Romawi.

Pimpinan pasukan Romawi yang bernama Jarjir mengadakan sayembara, barang siapa bisa membunuh Abdullah bin Abi Sarah, ia berhak memperoleh hadiah sebesar 100.000 dinar dan menikahi anaknya. Sayembara ini disebarkan juga di kalangan kaum muslim. Abdullah bin Zubair melihat bahaya adu domba ini dalam strategi Jarjir itu. Karena itu dengan persetujuan komandannya, ia membuat sayembara tandingan, ia berkata, "Kita tidak perlu khawatir, kita juga mengumumkan, bahwa barang siapa yang bisa membunuh Jarjir, ia memperoleh hadiah 100.000 dinar, dan berhak menikahi putrinya."

Ternyata tidak mudah membangkitkan semangat pasukan muslim hanya dengan sekedar sayembara tandingan seperti itu. Karena itu, Abdullah bin Zubair bersama sekelompok sahabat dan temannya menjadi pasukan perintis untuk menjebol pagar betis pasukan Romawi yang berlipat sepuluh kali lipat banyaknya tersebut. Ia berkata kepada pasukan perintis yang mendukungnya, "Lindungilah punggungku, dan marilah menyerbu musuh bersamaku…!!"

Pasukan ini berhasil membelah pasukan Romawi, dan terus merangsek maju menuju satu titik, yakni tempat pengendali dan komandan pasukan, Jarjir. Seolah bahtera yang membelah gelombang, pasukan perintis ini seolah tidak terbendung hingga akhirnya sampai berhadapan dengan Jarjir. Abdullah bin Zubair sendiri yang bertempur dengan komandan pasukan Romawi yang ditakuti itu, dan akhirnya ia berhasil membunuhnya.

Panji-panji Islam berkibar di pusat komando pasukan Romawi, dan pasukan muslim yang terus bergerak di belakangnya juga berhasil memporak-porandakan pasukan Romawi lainnya. Kemenangan yang gemilang ini tak lepas dari peran dan keberanian Abdullah bin Zubair, karena itu Abdullah bin Abi Sarah, komandan pasukan muslim, memberikan kehormatan kepadanya untuk menyampaikan sendiriberita kemenangan ini kepada Khalifah Utsman di Madinah.

Abdullah bin Zubair tidak bisa menghindar ketika ia dihadapkan pada suasana fitnah setelah wafatnya khalifah Utsman. Dengan tegar ia berdiri di sisi Ali bin Abi Thalib, bahkan ketika Ali diturunkan dan kemudian tewas terbunuh, Ibnu Zubair dengan lantang menyatakan penolakannya untuk berba'iat kepada Muawiyah. Ketika Muawiyah memba'iat anaknya, Yazid bin Muawiyah untuk menjadi khalifah penggantinya, dengan tegas pula ia menolaknya. Walau berbagai ancaman ditujukan pada dirinya, ia berkata, "Sampai kapanpun dan bagaimanapun aku tidak akan berba'iat kepada si Pemabuk itu..!!"

Sangatlah beralasan jika Ibnu Zubair menyatakan penolakannya ini tanpa tedeng aling-aling. Kalau terhadap ayahnya, Muawiyah, masih ada penghargaannya sebagai sahabat Nabi SAW dengan berbagai kebaikan dan kelebihannya, di samping beberapa kekurangannya. Tetapi terhadap Yazid tidak ada alasan apapun untuk mendukung dan menghargainya. Sebuah syair pendek dilontarkannya sebagai ungkapan sikapnya terhadap Yazid, "Terhadap hal yang bathil, tidak ada tempat berlunak dan berlembut, kecuali jika geraham, bisa mengunyah batu menjadi lembut….!!"

Terbuktilah kemudian, Yazid banyak melakukan tindakan jahiliah yang menginjak-injak nilai-nilai keimanan dan kemanusiaan. Ia sama sekali tidak mengindahkan ajaran-ajaran Islam dan kecintaan kepada Nabi SAW, sebaliknya, hanya memperturutkan hawa nafsu dan ambisi kekuasannya semata. Pembantaian Husein bin Ali, cucu Rasulullah SAW di padang Karbala, beserta keluarganya dan para pengikutnya, penyerangan kota Madinah yang terkenal dengan peristiwa Harrah, dan akhirnya penyerangan kota Makkah, semua itu diarsiteki oleh Yazid bin Muawiyah. Peristiwa-peristiwa ini merupakan sisi kelam dalam sejarah perkembangan Islam.

Setelah sikap penolakannya terhadap Yazid ini, Abdullah bin Zubair pindah ke Makkah, begitu juga denganHusein bin Ali yang juga dengan tegas menyatakan penolakannya. Ia ingin mengisi waktunya dengan lebih banyak ibadah, dan meninggalkan suasana "politik" yang penuh fitnah. Tetapi pena takdir telah menetapkan ia harus mengarungi jalan dan suasana tersebut untuk menemukan syahidnya. Selalu saja ada yang datang untuk berdiri di belakang dirinya, menyokong sikap-sikapnya, dalam melakukan perlawanan terhadap berbagai kedzaliman yang dilakukan oleh Yazid sebagai pihak penguasa.

Walau niatnya menghabiskan waktu untuk ibadah, tetapi Abdullah bin Zubair tak ubahnya seorang pemimpin di antara orang-orang yang juga beribadah bersamanya. Tetapi, ternyata tidak semua pengikutnya itu memiliki niat tulus untuk menegakkan kebenaran semata-mata, seperti apa yang digambarkan dan diramalkan Nabi SAW saat kelahirannya,"Ia laksana domba, di antara harimau yang berbulu domba…"

Setelah peristiwa Karbala, penduduk Madinah, yang sebagian besar adalah sahabat Anshar dan keturunannya, mulai menyatakan penolakannya dengan tegas atas kekhalifahan Yazid. Karena itu Yazid mengirim pasukanbesar untuk menyerang Madinah, dan setelah itu diperintahkan menyerang Abdullah bin Zubair di Makkah. Pada saat terjadi penyerangan Makkah dengan manjaniq, dimana penutup dan sebagian besar bagian Ka'bah terbakar, datanglah kabar dari Syam, bahwa Yazid mati. Pasukan itupun kembali ke Syam sebelum sempat menangkap atau membunuh Abdullah bin Zubair.

Masyarakat Hijaz dan sekitarnya memba'iat Abdullah bin Zubair sebagai khalifah setelah kematian Yazid. Sementara itu, Bani Umayyah mengangkat putra Yazid, Muawiyah bin Yazid sebagai khalifah. Muawiyah ini sangat berbeda dengan ayahnya, ia seorang pemuda yang saleh, yang menghabiskan waktunya dengan ibadah. Seolah Allah ingin menjaga kebaikannya ini, ia dalam keadaan sakit ketika ayahnya meninggal, dan tetap dalam keadaan sakitselama empat puluh hari (atau dua bulan dalam riwayat lainnya), dan tetap tinggal di tempat tidurnyasampai ajal menjemputnya.

Marwan bin Hakam mengangkat dirinya sebagai khalifah penerus Bani Umayyah, dan menjelang kematiannya, ia menunjuk putranya Abdul Malik bin Marwan sebagai penggantinya. Abdul Malik ini membentuk pasukan besar berjumlah 40.000 orang di bawah kepemimpinan Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi untuk menyerang Ibnu Zubair di Makkah. Pasukan ini melakukan pengepungan Makkah selama berbulan-bulan sambil menyerangnya dengan manjaniq. Akibat pengepungan ini, sebagian besar anggota pasukan Ibnu Zubair menyerah atau membelot ke pasukan Hajjaj karena kekurangan makanan dan kelaparan. Tetapi ada juga yang berkhianat karena tergiur dengan berbagai tawaran kenikmatan duniawiahyang ditawarkan oleh Hajjaj.

Pengikut yang setia mendampingi Ibnu Zubair makin sedikit saja, tetapi yang justru dikhawatirkan Ibnu Zubair adalah keselamatan para pengikutnya tersebut. Ia meminta mereka untuk menyingkir saja, tetapi mereka ini tidak mau meninggalkannya sendirian sebagaimana teman-temannya yang lain. Mereka siap mempertaruhkan nyawanya asalkan tetap diijinkan untuk mendampinginya.

Abdullah bin Zubair menemui ibunya, Asma binti Abu Bakar yang telah berusia sekitar 97 tahun dan telah buta matanya, untuk mendiskusikan masalah yang dihadapinya. Ibnu Zubair menceritakan situasi yang sedang dihadapinya, dan berbagai kemungkinan yang terjadi pada pasukan yang dipimpinnya, yang jumlahnya memang sangat sedikit. Ibunya ini memang wanita hebat, putri dari seorang sahabat yang hebat, istri dari sahabat yang hebat, dan dipuji dan dididik oleh seorang yang mulia dan hebat, Nabi SAW.Karena perannya ketika membantu Rasulullah dan ayahnya ketika bersembunyi di gua Tsur, sebelum kemudian hijrah ke Madinah, beliau memberikan gelar kepadanya Dzatun Nithaqain.

Atas permasalahan putranya ini, Asma menyatakan, bahwa tidak sepatutnya ia memilih dan melakukan sesuatu, kecuali di atas jalan kebenaran. Tidak ada kamus menyerah dan mundur dari perjuangan hanya karena terlalu kuatnya musuh, terlebih lagi karena terpikat oleh tawaran kenikmatan duniawiah, sungguh suatu kecelakaan besar dan menyimpang dari jalan yang dirintis oleh ayahnya, kakeknya, dan para sahabat yang telah gugur mendahuluinya. Abdullah bin Zubair berkata kepada ibunya, "Wahai Ibu, saya juga meyakini seperti itu, hanya saja saya khawatir, orang-orang Syam itu akan menyalib dan menyayat-nyayat tubuhku setelah mereka membunuhku!!”

Memang, sebenarnya yang dikhawatirkan adalah perasaan ibunya kalau jasadnya akan diperlakukan dengan sangat biadab seperti yang telah "biasa" mereka lakukan sebelumnya, misalnya yang terjadi pada peristiwa Karbaladan Harrah. Apalagi pemimpin pasukan Syam itu, Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi terkenal sebagai orang yang sangat kejam dan biadab, sangat jauh dari akhlak Islami walau dia pemeluk Islam. Namun, Ibnu Zubair memperoleh jawaban yang tidak tersangka-sangka dan sangat luar biasa dari ibunya, "Wahai anakku, sesungguhnya kambing itu tidak merasakan sakit walau dikuliti setelah disembelih, Teruskan langkahmu dan mintalah pertolongan kepada Allah…!!"

Asma hendak memeluk putranya tersebut untuk terakhir kali, tetapi tangannya menyentuh baju besi yang dipakai Ibnu Zubair, segera saja ia berkata, "Apa-apaan ini Abdullah..!! Orang yang memakai ini, hanyalah mereka yang tidak menginginkan apa yang sebenarnya engkau inginkan… (yakni, kesyahidan)..!!"

Abdullah bin Zubair segera melepas baju besi tersebut kemudian berpelukan dengan ibunya. Asma mengucapkan beberapa patah doa sebagai pengiring dan penyemangat anaknya untuk terakhir kalinya. Ibnu Zubair beranjak menuju sisa pasukan yang setia mendampinginya, kemudian mereka menyerang pasukan Hajjaj dan terjadi pertempuran tidak seimbang yang akhirnya mengantar Ibnu Zubair dan pasukannya menuju gerbang kesyahidan.

Dan seperti telah diperkirakan oleh Ibnu Zubair, Hajjaj menyalib dan menyayat tubuhnya yang telah kaku. Namun semua itu tidaklah menjadikannya tercela, justru menambah kemuliaan dirinya di sisi Allah. 

Kisah Sahabat Nabi Qabishah Bin Mukhariq Ra

0 Comments

Qabishah Bin Mukhariq Ra

Qabishah bin Mukhariq, atau dikenal dengan nama kunyahnya Abu Bisyr, adalah seorang sahabat yang hidupnya dalam kekurangan, sementara anggota keluarganya cukup banyak. Suatu ketika ia merasakan beban yang ditanggungnya begitu berat sehingga ia tak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, yang sebenarnya tidak begitu banyak. Karena itu ia datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami mohon bantuan untuk meringankan beban kehidupan kami…!!"

Karena saat itu Nabi SAW sedang tidak memiliki apapun untuk diberikan, beliau berkata, "Tunggulah sampai ada zakat datang kesini, nanti akan kami suruh si Amil untuk memberikan bagian kepadamu…!!"

Setelah mengucapkan terima kasih dan pamit, Abu Bisyr melangkah untuk pulang. Tetapi baru beberapa langkah, Nabi SAW memanggilnya kembali. Abu Bisyr kembali menghadap Nabi SAW dan beliau bersabda, "Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak diperbolehkan kecuali karena tiga alasan…."

Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan dengan terinci siapa saja yang dibolehkan meminta-minta, dan batasan- batasannya, yakni :

1. Seseorang yang menanggung beban kehidupan sangat berat, ia boleh meminta-minta untuk memperingan beban kehidupannya. Jika telah terasa ringan, ia harus mengekang/menahan diri dari meminta-minta.

2. Seseorang yang ditimpa musibah atau kecelakaan sehingga seluruh hartanya habis, ia boleh meminta-minta sehingga ia memperoleh kehidupan yang layak.

3. Seseorang yang sangat miskin, sehingga setidaknya ada tiga orang bijaksana di antara kaumnya yang berkata tentang dirinya, "Si fulan ini benar-benar miskin", maka ia boleh meminta-minta sehingga ia memperoleh kehidupan yang layak.

Artinya, terlarang meminta-minta sampai melebihi kebutuhan standar kehidupan layak, apalagi sampai menjadikansimpanan atau tabungan.

Setelah menjabarkan panjang lebar seperti itu, Nabi SAW bersabda lagi, "Wahai Qabishah, meminta-minta selain karena tiga sebab tersebut adalah usaha yang terlarang, dan orang yang memakannya berarti memakan barang yang haram…!!" 

Kisah Sahabat Nabi Amir Bin Akwa Ra

0 Comments

Amir Bin Akwa Ra

Amir bin Amr bin al Akwa, adalah saudara dari Salamah bin Akwa, seorang remaja yang Rasulullah SAW menggelarinya sebagai Pasukan Pejalan Kaki Terbaik. Karena itu Amir pun lebih dikenali dengan nama Amir bin Akwa. Ketika terjun dalam perang Khaibar, dua bersaudara al Akwa dari bani Aslam ini bahu membahu memerangi kaum Yahudi. Amir bin Akwa menyenandungkan suatu syair untuk membangkitkan semangat, "Kalau tidak karena engkau(wahai Muhammad), tidaklah kami mendapat hidayah, tidak shalat dan berzakat, Kami dicukupkan dengan kelebihan engkau, maka turunkanlah atas kami ketenangan, Dan teguhkanlah kaki-kaki kami menghadapi musuh dalam peperangan ini…!!"

Nabi SAW diberitahu para sahabat tentang syair yang disenandungkan tersebut. Beliau menanyakan siapa penyenandungnya.

"Amir bin Akwa…!!" Kata para sahabat.

"Semoga Allah akan mengampuni Amir!!" Kata Rasulullah SAW, suatu pertanda beliau senang dengan apa yang dilakukannya.

Tetapi para sahabat-pun menangkap pertanda pula. Jika beliau mengkhususkan doa pada seseorang dalam suatu pertempuran, pastilah ia akan menemui syahid. Amir memahami pula hal ini, dan ia menjadi sangat gembira dan bersemangat menggempur musuh.

Ketika pertempuran berkecamuk dengan sengitnya, muncullah Marhab, seorang pahlawan Yahudi yang sudah sangat dikenal di daerah Khaibar dan sekitarnya akan keberanian dan kepiawaiannya dalam adu senjata. Ia menantang duel sambil menyombongkan nama besarnya.Tanpa banyak pertimbangan, Amir meloncat ke hadapan Marhab sambil mengucapkan perkataan untuk mengimbangi kesombongan Marhab, "Penduduk Khaibar tahu, akulah Amir, pahlawan perang yang perkasa, menyerbu musuh seorang diri tanpa takut apa-apa…!!"

Dua orang yang inipun bertempur dengan serunya, tampaknya kekuatan mereka berimbang. Pada suatu kesempatan, posisi Amir di atas angin dan sangat menguntungkan, ia siap memberikan pukulan terakhir dengan pedangnya untuk menghabisi perlawanan musuhnya. Tetapi tanpa disadarinya,hulu pedangnya melentur dan ujung pedangnya berbalik mengenai ubun-ubun kepalanya sendiri hingga ia tewas seketika. Pasukan muslim yang melihat peristiwa tersebut spontan berkata, "Kasihan Amir, ia terhalang memperoleh mati syahid…!!"

Salamah bin Akwa yang berada tak jauh dari tempat saudaranya itupun merasa kecewa dan menyesal atas kejadian yang menimpa Amir. Ia beranggapan seperti kebanyakan sahabat lainnya, bahwa Amir mati karena bunuh diri, walau itu dilakukan tanpa sengaja. Tentulah ia kehilangan pahala berjihad dan kematian sebagai syahid.

Ketika perang pada hari itu usai, Salamah menceritakan peristiwa yang menimpa Amir kepada Nabi SAW sambil menangis, dan ia bertanya, "Wahai Rasulullah, benarkah pahala Amir gugur karena kematiannya tersebut?"

Rasulullah SAW dengan arif memberikan jawaban yang menentramkan, "Ia gugur sebagai pejuang (yakni mati syahid), bahkan ia memperolah dua macam pahala. Dan sekarang ini ia sedang berenang di sungai-sungai surga…!!!"

Hati Salamah menjadi senang dengan penjelasan Nabi SAW, bahkan ‘pandangan tembus’ beliau atas saudaranya yang telah syahid tersebut meningkatkan semangatnya untuk terus berjuang membela panji-panji agama Allah. 

Kisah Sahabat Nabi Ghassan Bin Malik Al Amiri Ra

0 Comments

Ghassan Bin Malik Al Amiri Ra

Ghassan bin Malik al Amiri tinggal cukup jauh dari Kota Makkah. Kabilahnya memiliki kebiasaan memberikan persembahan atau kurban di depan berhalanya pada bulan Rajab. Pada suatu bulan Rajab ketika Nabi SAW telah mulai mendakwahkan Islam, seorang lelaki bernama Isham datang ke berhala tersebut dan bersiap menyembelih kurban persembahannya. Ketika tangannya mengangkat pedang untuk menyembelih, tiba-tiba munculsuara dari lobang berhala, "Wahai Isham, telah datang Islam, berhala tak lagi berguna, darah akan terlindungi dan kekerabatan akan tersambung, kebenaran akan segera tampak….Wassalam..!!"

Memang, sebelumnya telah santer tersiar kabar, khususnya dari para pendeta Yahudi dan Nashrani, bahwa akan segera muncul seorang Nabi dan Rasul akhir zaman. Berita yang sebenarnya menjadi harapan dan kebanggaan bagi ahli kitab tersebut, juga menimbulkan harapan bagi penduduk jazirah Arabia yang sebenarnya kaum pagan penyembah berhala. Kaum ahli kitab ini merasa derajadnya lebih tinggi dari penduduk Arab karena mereka merasa memiliki keterkaitan dengan wahyu, dengan kitab suci yang mereka jadikan pegangan bagi agama mereka.

Sejenak Isham tertegun, kemudian ia membatalkan persembahannya sambil berteriak gembira kepada kaumnya bahwa Rasul yang dinanti-nantikan tersebut telah datang. Ghassan yang sebenarnya "pemilik dan pengelola" berhala tersebut, ikut gembira dengan kabar tersebut, tetapi itu belum menguatkannya karena ia tidak melihat sendiri peristiwa yang dialami Isham.

Beberapa hari kemudian, masih di bulan Rajab yang sama, seseorang bernama Thariq datang untuk melakukan persembahan. Sama seperti Isham, ketika tangannya siap menyembelih kurban di depan berhala tersebut, muncul suatu suara dari lobang berhala itu, "Wahai Thariq, telah diutus Nabi yang jujur, ia datang membawa wahyu dari Allah Yang Maha Perkasa…!!"

Sama seperti Isham, Thariq membatalkan kurbannya dan berlari keluar dari tempat berhala tersebut sambil berteriak gembira, mengabarkan kehadiran Nabi dan Rasul akhir zaman. Peristiwa Thariq tersebut makin menguatkan kabar yang disampaikan oleh Isham sebelumnya, dan Nabi SAW makin jadi pembicaraan di daerah yang jauh dari Makkah ini. Hanya sajakalau di Makkah beliau banyak menerima penolakan, di sini beliau menjadi idola, harapan dan penerimaan.

Tiga hari setelah peristiwa Thariq, Ghazzan bin Malik yang merupakan salah satu pemuka kabilahnya, berniat melakukan kurban di depan berhalanya. Peristiwa Isham dan Thariq berulang, bahkan suara tersebut lebih tegas dan lantang keluar dari lobang berhala, "Wahai Ghazzan bin Malik, telah datang kebenaran dari seorang Nabi dari Bani Hasyim di Tihamah. Keselamatan bagi yang mendukungnya, penyesalan bagi yang mencelanya. Dia memberi petunjuk dan mengajak kepada kebaikan hingga hari kiamat….!!"

Setelah itu, berhala tersebut terangkat dan roboh tengkurap di depan Ghazzan. Tidak ada alasan lagi bagiGhazzan untuk tidak percaya akan hadirnya seorang Rasul, apalagi kali ini jelas ditunjukkan kabilah dan tempatnya ia dibangkitkan. Dengan tekad bulat, sekaligus dukungan dari kaumnya, ia akan menemui Nabi baru dari Bani Hasyim yang berada di daerah perbukitan Tihamah tersebut. Ganasnya padang pasir yang membentang antara tempat tinggalnya dengan Tihamah dimana Makkah berada, tidaklah menyurutkan langkahnya.

Saat itu masih masa permulaan dakwah Islam, Nabi SAW sedang duduk bersama beberapa orang sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib yang meriwayatkan kisah ini. Seorang penunggang unta yang tampak letih dan berdebu, pertanda ia telah melakukan perjalanan jauh di padang pasir, mendatangi kumpulan sahabat dan bertanya, "Manakah yang namanya Muhammad?"

Mereka menunjukan tempat Nabi SAW, dan lelaki tersebut, yang tak lain adalah Ghassan bin Malik al Amiri, berkata kepada beliau, "Maukah engkau menjelaskan semua perintah Tuhanmu, atau aku yang akan menceritakan perintah-perintah berhalaku…."

Maksud Ghassan adalah "perintah" berhala ketika membatalkan persembahan kurban dari Isham, Thariq dan dirinya sendiri. Nabi SAW tersenyum mendengar perkataan Ghassan, dan bersabda, "Biarlah aku saja yang menjelaskan perintah-perintah Tuhanku…."

Mulailah Nabi SAW menjelaskan panjang lebar risalah Islam yang beliau emban untuk seluruh umat manusia. Setelah cukup lama mendengarkan dengan khidmat penjelasan beliau, ia berkata, "Saya adalah Ghassan bin Malik al Amiri, saya mempunyai berhala, setiap bulan Rajab saya dan kaum saya melakukan persembahan kepadanya…."

Kemudian Ghassan menceritakan dengan terperinci peristiwa yang terjadi dengan berhalanya akhir-akhir ini, pengalaman Isham, Thariq atau juga pengalamannya sendiri, sehingga berhala itu roboh dengan sendirinya. Setelah Ghassan selesai menceritakan kisahnya, Nabi SAW bertakbir, para sahabat ikut bertakbir pula. Ghassan mengucap syahadat untuk memeluk Islam, kemudian ia meminta ijin Nabi SAW untuk melantunkan syair, dan beliau mengijinkannya.

Ghassan melantunkan syairnya, "Kupacu langkah untuk sebuah pencarian, dengan gundah gulana, di dalam negeri yang berpasir, hanya untuk mendukung manusia pemimpin, kuikat sebuah tali, talimu dalam taliku, aku ikrarkan, Allah Tuhan Yang Maha Benar, Yang Esa, inilah agamaku, terompahku bersama langkahku…" 

Kisah Sahabat Nabi Thoriq Ash Sholidalani Dan Syihab R.huma

0 Comments

Thoriq Ash Sholidalani Dan Syihab R.huma

Pada awal dakwahnya di Makkah, Nabi SAW memang mendapat perlawanan yang tidak tanggung-tanggung. Suatu ketika kaum musyrik bermusyawarah di rumah Abu Jahal untuk menyikapi dakwah Nabi SAW. Masuklah Thoriq ash Sholidalani ke rumah Abu Jahal dan berkata, "Jika kalian ingin membunuh Muhammad, itu sangat mudah asal kalian setuju dengan kata-kataku..!!"

"Bagaimana caranya Thoriq?" Tanya mereka.

"Ketika Muhammad sedang duduk bersandar di dinding Ka'bah, salah satu dari kalian naik ke atas Ka'bah dan meluncurkan batu besar ke tempat duduknya, pasti ia akan mati seketika..!!" Kata Thoriq.

Usul tersebut sepertinya mendapat respon positif, dan salah seorang dari mereka, yakni Syihab berkata, "Jika diijinkan, biarkanlah aku yang meluncurkan batu dari atas kata Ka'bah…!!"

Para pemuka Quraisy itupun menyetujui rencana tersebut. Suatu ketika Nabi SAW duduk bersandar di dinding Ka' bah seperti biasanya. Sekelompok kaum Quraisy yang telah menunggu kesempatan itu segera melaksanakan rencananya. Syihab menaiki Ka'bah pada sisi yang lain dengan membawa batu besar yang telah disiapkannya. Thoriq ash-Sholidalani dan beberapa pemuka Quraisy mengamati dari kejauhan.

Setelah berada tepat di atas Nabi SAW, Syihab meluncurkan batu besar yang dibawanya ke arah kepala Nabi SAW. Tetapi tiba-tiba saja dinding Ka'bah bergeser atau merekah dan muncul batu lain dari dinding tersebut yang membelokkan arah jatuhnya batu besar yang dijatuhkan Syihab. Batu tersebut jatuh di pelataran Ka'bah, agak jauh dari tempat Nabi SAW bersandar sehingga beliau selamat. Setelah itu dinding Ka'bah merapat kembali seperti semula. Syihab mengucak matanya seolah tak percaya melihat peristiwa yang menakjubkan tersebut, kemudian segera turun menghampiri Nabi SAW dan mengucapkan syahadat memeluk Islam. Thoriq ash Sholidalani yang juga terperanjat melihat peristiwa tersebut, dengan segera menghampiri beliau danmenyusul Syihab memeluk Islam. 

Kisah Sahabat Nabi Abu Sufyan Bin Harits Ra

0 Comments

Abu Sufyan Bin Harits Ra

Abu Sufyan bin Harits masih saudara sepupu Nabi SAW, ayahnya Harits bin Abdul Muthalib adalah saudara kandung ayah beliau, Abdullah bin Abdul Muthalib. Ia juga saudara sesusu Nabi SAW karena pernah disusui oleh Khalimah as Sa'diyah selama beberapa hari. Sebagian besar masa hidupnya sejak Nabi SAW mengemban risalah Islam, justru dihabiskanuntuk menentang dan menghalangi dakwah beliau. Dengan kemampuannya menggubah dan merangkai syair, ia menjatuhkan dan menjelek-jelekkan Nabi SAW. Dalam berbagai pertempuran-pun ia berdiri teguh di fihak yang melawan pasukan muslim.

Sebenarnyalah ia telah melihat tanda-tanda kebenaran Nabi SAW dalam perang Badar, tetapi Allah SWT belum berkenan memberikan hidayah keimanan kepadanya. Dalam pertempuran Badar tersebut, kekuatan pasukan musyrik tiga kali lipat banyaknya, tetapi Abu Sufyan bin Harits melihat pemandangan menakjubkan yang tidak masuk akal. Pasukan berjubah putih dengan kuda-kuda yang perkasa berseliweran antara langit dan bumi, tetapi sama sekali tidak meninggalkan jejak dan menginjak bumi. Wajahnya tampak cemerlang dengan dahi-dahi yang lebar.

Mereka ini, yang tidak lain adalah para malaikat yang diperintahkan Allah membantu pasukan muslim, menyerang dan mematahkan serangan kaum musyrikin tanpa diketahui oleh pasukan muslim sendiri. Banyak peristiwa terjadi, ketika seorang muslim belum lagi menyerang, baru berhadapan saja tiba- tiba saja kepala musuhnya terkulai dan mati, atau tangannya terpotong, atau datang kepada seorang muslim dalam keadaan tertawan begitu saja seperti yang terjadi atas Abbas bin Abdul Muthalib. Peristiwa yang tidak terlihat oleh pasukan muslim atau pasukan musyrikin ini ternyata ditampakkan Allah kepada Ibnu Harits, tetapi tidak disertai hidayah-Nya.

Begitulah, bukti kebenaran itu begitu nyata dilihatnya, tetapi Abu Sufyan bin Harits tetap menjadi tulang punggung kaum Quraisy dan sekutu musyriknya dalam memerangi dan menghalangi dakwah Nabi SAW, baik dengan syair-syairnya, atau dengan pedang yang dihunusnya dalam berbagai peperangan. Bahkan ketika saudara-saudaranya, Naufal, Rabi'ah dan Abdullah bin Harits memeluk Islam, ia tetap saja kokoh dengan pendiriannya. Tak heran jika Nabi SAW sempat menolak menemuinya ketika ia berniat memeluk Islam menjelang terjadinya Fathul Makkah.

Setelah duapuluh tahun berlalu hidayah Allah datang juga menyapanya. Pada saat yang hampir bersamaan ketika Nabi SAW menggerakkan pasukan menuju Makkah, ia juga menggerakkan kakinya menuju Madinah untuk berba'iat memeluk Islam, tetapi ia tidak tahu rencana Nabi SAW tersebut. Ia berangkat bersama anaknya yang masihkecil, Ja'far dan saudara sepupunya yang juga berniat memeluk Islam, Abdullah bin Abu Umayyah. Ibnu Abi Umayyah ini adalah saudara dari Ummu Salamah, salah satu istri Nabi SAW, dan seorang tokoh Quraisy yang juga sangat gencar melakukan perlawanan dan penentangan atas kenabian Nabi Muhammad SAW, sehingga peristiwanya diabadikan dalam Al Qur'an Surah al Isra ayat 90-93.

Ketika tiba di Abwa, Abu Sufyan dan rombongan kecilnya bertemu dengan pasukan besar kaum muslimin yang sedang beristirahat di tempat itu. Ada kegentaran dalam dirinya, dengan reputasinya selama ini dalam memusuhi Islam, bisa jadi Nabi SAWtelah menghalalkan darahnya. Tetapi tekadnya telah bulat, apapun resikonya ia akan menghadapinya. Ia menghampiri perkemahan muslim tersebut dan minta ijin untuk menghadap Nabi SAW, tetapi ternyata beliau menolak untuk menemui mereka. Ibnu Harits amat sedih menerima kenyataan tersebut, ia berniat untuk mengasingkan diri bersama anaknya dan akan membiarkan diri tanpa makan dan minum sampai mati kelaparan, jika memang tidak bisabertemu dan berikrar dalam keislaman kepada Nabi SAW.

Istri Nabi SAW yang menyertai beliau dalam perjalanan tersebut adalah Ummu Salamah. Ia melihat keadaan ketiga orang tersebut sangat payah dan hampir putus asa, apalagi keadaan si kecil, Ja’far bin Abu Sufyan. Karena itu ia berkata kepada Nabi SAW, "Wahai Rasulullah, jangan engkau biarkan anak paman engkau dan anak bibi engkau menjadi orang yang paling menderita karena engkau….!!"

Tetapi saran Ummu Salamah ini belum cukup meluluhkan hati beliau. Tentulah Nabi SAW yang paling merasakan bagaimana sikap dan perlakuan mereka berdua ketika beliau masih berdakwah di Makkah, sehingga tidaklah mudah melupakannya begitu saja.

Ali bin Abi Thalib menghampiri Abu Sufyan bin Harits, ia memberikan saran untuk mendekati Nabi SAW secara sembunyi-sembunyi, dan hadir di depan beliau dengan mengucap syahadat sebagai bukti keislamannya, dan berkata seperti perkataan saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf, "Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang- orang yang bersalah (berdosa) ….!!"

Perkataan tersebut terdapat pada QS Yusuf ayat 91. Ali bin Abi Thalib sebagai putra didikan wahyu, didikan Rasulullah SAW sejak usia kanak-kanaknya, tentulah sangat mengenal bagaimana "meluluhkan" hati beliau. Dan ketika saran ini dilaksanakan oleh Ibnu Harits dan Ibnu Abi Umayyah, Nabi SAW mengerling sekilas pada Ali, kemudian dengan gembira menyambut keislaman keduanya, dan beliau bersabda seperti ucapan Nabi Yusuf AS (QS Yusuf ayat 92), "Pada hari ini tidak ada celaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah merngampuni dosa-dosa kalian, dan sesungguhnya Dia Maha Penyayang di antara para penyayang…!!"

Abu Sufyan sangat gembira dengan ucapan Nabi SAW, secara spontan ia menggubah syair untuk memuji keluhuran akhlak beliau, sekaligus mengungkapkan penyesalannya atas jalan salah yang telah dilaluinya selama hampir duapuluh tahun tersebut. Nabi SAW amat gembira dengan gubahan syair tersebut, sambil tersenyum dan menepuk lembut dada Abu Sufyan, beliau bersabda, "Dahulu engkau mengusirku dengan gigih…!!"

Nabi SAW memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk mengajarkan Abu Sufyan cara wudhu, shalat dan berbagai cara peribadatan lainnya, sehingga akhirnya ia menjadi seorang muslim yang baik. Sejak saat itu Abu Sufyan tidak berani menatap wajah Rasulullah SAW berlama-lama karena rasa malu. Ia lebih banyak menundukkan mukanya. Namun demikian Nabi SAW sangat mencintainya dan memberikan kesaksian bahwa ia akan masuk surga. Beliau sering berkata tentang dirinya, "Aku sangat berharap dia akan menyusul Hamzah….!!"

Dalam Perang Hunain yang terjadi tidak lama setelah terjadinya Fathul Makkah, pasukan muslim sempat kocar-kacir pada awalnya, bahkan jiwa Rasulullah SAW terancam bahaya. Akhirnya beliau berhasil menghimpun kekuatan kembali dengan orang-orang Anshar sebagai pilar utamanya, dan memukul balik pasukan musuh sehingga memperolehkemenangan yang gemilang.

Dalam proses yang begitu panjang, dari kekalahan sehingga berbalik menjadi kemenangan, kendali tunggangan Rasulullah SAW dipegang dan dikontrol dengan baiknya sehingga beliau sukses memberikan komando yang menentukan kemenangan tersebut. Hanya anehnya, lelaki pemegang kendali tersebut tidak pernah menampakkan wajah dan tatapannya kepada beliau.Ketika suasana telah tenang dan pasukan musuh telah terusir pergi, Nabi SAW berusaha mengenali siapa lelaki misterius tersebut. Dan setelah menatap berlama-lama, beliau berkata, "Siapa ini? Oh, saudaraku, Abu Sufyan bin Harits….."

Sangat pendek ucapan beliau, tetapi kata "saudaraku" yang diucapkan Nabi SAW laksana air sejuk yang disiramkan ke dalam hatinya kala kegersangan melanda. Masih jelas terbayang semua sikap permusuhan yang dilakukannya kepada beliau selama duapuluh tahun, masih juga lekat dalam ingatan, penolakan beliau untuk menemuinya ketika di Abwa. Tetapi tiba-tiba saja beliau menyebutnya sebagai "saudaraku", kegembiraan dan kebahagiaan yang menyebabkan air matanya mengalir dengan deras karena rasa haru yang tak tertahankan. Ia mencium dan meratapi kedua kaki Rasulullah SAW, bahkan ia mencucinya dengan air matanya.

Abu Sufyan bin Harits menghabiskan sisa waktu bersama Rasulullah SAW dengan ibadah demi ibadah, seolah ingin menebus ketertinggalannya selama duapuluh tahun. Dan ketika Nabi SAW wafat terlebih dahulu, ruhnya seolah memberontak untuk segera keluar menyusul kesayangan dan kekasihnya tersebut. Suatu ketika ia menggali lubang kuburan di Baqi, padahal saat itu tidak ada seorangpun yang meninggal, mereka yang merasa aneh dengan apa yang dilakukannya menanyakan aktivitasnya tersebut, Abu Sufyan berkata, "Aku sedang menyiapkan kuburku…..!!"

Tiga hari kemudian ia terbaring sakit dan makin lemah sehingga orang-orang menangisinya. Tetapi tampak sekali kepuasan dan ketentraman di hatinya yang tampil di wajahnya. Ia berkata, "Janganlah kalian menangisiku!! Sesungguhnya sejak memeluk Islam, tidak sedikitpun aku berlumuran dosa..!!"

Tak lama kemudian wajahnya terkulai dan ruhnya melayang menyusul kekasih yang dirindukannya, Nabi Muhammad SAW.Orang-orangpun memakamkannya pada liang lahad yang telah dipersiapkannya sendiri. 

Kisah Sahabat Nabi Seorang Yang Menginginkan Berjihad

0 Comments

Seorang Yang Menginginkan Berjihad

Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya telah memeluk Islam, dan saya berba'iat kepada tuan untuk berhijrah dan berjihad, semata-mata untuk mengharapkan pahala dari Allah Ta'ala…!!"

Nabi SAW yang memang mempunyai pandangan tembus yang tidak terhalang hijab, tentu saja semua berkat pemberitahuan dan bimbingan wahyu yang disampaikan oleh Jibril AS, seketika tersenyum melihat semangat lelaki tersebut dan berkata, "Apakah masih ada salah satu dari orang tuamu yang masih hidup?"

"Masih, ya Rasulullah, bahkan kedua-duanya masih hidup!!" Kata lelaki tersebut.

"Kamu ingin memperoleh pahala yang besar dari Allah?" Kata Nabi SAW, tanpa ingin mematahkan semangat lelaki tersebut yang menyala-nyala.

"Benar, Ya Rasulullah..!!"

"Kembalilah kamu kepada kedua orang tuamu," Kata Nabi SAW, "Layanilah mereka sebaik-baiknya, pada mereka sajalah kamu berjihad…!!"

Inilah memang sikap bijaksana Nabi SAW. Dalam pandangan beliau, lelaki itu akan lebih bermanfaat jika tetap menjaga dan merawat kedua orang tuanya, daripada harus terjun di medanpertempuran. Tetapi secara umum, jika ada seorang muslim yang ingin bergabung dalam pasukan yang terjun ke medanjihad, beliau lebih sering menerimanya, bahkan mendoakan mereka dengan kebaikan.

Kasus ini hampir sama dengan yang terjadi pada Uwais al Qarany, seorang Tabi'in yang sebenarnya hidup sezaman dengan Nabi SAW, tetapi "tidak sempat" mengunjungi dan bertemu dengan Nabi SAW. Sebenarnyalah ia meminta ijin kepada ibunya untuk mengunjungi dan berba'iat kepada Nabi SAW di Madinah, tetapi ibunya mencegah kepergiannya dan ia patuh.

Memang, ibunya tersebut telah tua dan sakit-sakitan, tidak bisa beraktivitas apapun kecuali dengan bantuan Uwais. Tidak ada orang lain yang bisa diandalkan untuk membantunya kecuali anak satu-satunya tersebut. Kalau Uwais harus meninggalkan daerah Qaran di Yaman menuju Madinah, padahal akan makan waktu berhari-hari atau bahkan berbilang bulan, bagaimana keadaan ibunya tersebut. Terpaksalah Uwais harus memendam kerinduannya bertemu Nabi SAW demi patuh kepada ibunya.

Dan pena takdir menentukan ia tidak bisa bertemu langsung dengan Nabi SAW, ia baru bisa ikut haji ke Makkah setelah ibunya wafat, yakni ketika masa khalifah Umar bin Khaththab. Namun bertahun-tahun sebelumnya, Nabi SAW memuji sikap Uwais al Qarany ini, beliau bersabda, "Penghulu (sayyid) para Tabi'in adalah Uwais al Qarany…!!" Beliau juga mewasiatkan kepada Umar dan Ali bin Abi Thalib untuk menemui Uwais, dan memintakan doa ampunan untuk mereka. Dalam riwayat lain, memintakan doa ampunan untuk ummat Nabi SAW keseluruhannya. Lihat juga pujian Nabi SAW atas Uwais dalam kisah "Seorang Raja di Surga", di bagian sebelumnya dari buku ini. 

Kisah Sahabat Nabi Zainab Ats Tsaqafiyah Ra

0 Comments

Zainab Ats Tsaqafiyah Ra

Zainab Ats Tsaqafiyah RA adalah seorang wanita bangsawan yang kaya-raya, yang berasal dari kabilah Bani Tsaqif di Thaif. Ia menikah denganAbdullah bin Mas'ud, seorang sahabat Nabi SAW yang tadinya hanyalah seorang buruh penggembala kambing, tetapi Islam telah memuliakannya dengan kemampuannya di dalam Al Qur'an, bahkan Nabi SAW memuji bacaannya, tepat seperti ketika Al Qur'an diturunkan. Tentu saja Ibnu Mas’ud hanyalah dari kalangan biasa dan miskin, bahkan kondisi fisiknya ada kekurangan (cacat).

Walau dengan ‘derajad’ duniawiah yang begitu jauh berbeda, Zainab bersedia dinikahi Ibnu Mas’ud, karena ia menyadari kekayaan dan kebangsawanannya belum tentu bisa menjamin keselamatannya di akhirat kelak. Tetapi dengan menjadi istri dan pendamping seorang sahabat yang begitu dimuliakan Rasulullah SAW, ia yakin akan memperoleh ‘freepass’ masuk surga, asal dengan ikhlas mengabdi pada suaminya tersebut.

Suatu ketika Zainab mendengar Nabi SAW bersabda, "Wahai kaum wanita, bersedekahlah kamu sekalian, walaupun harus dengan perhiasanmu…!!"

Ketika tiba di rumah dan bertemu dengan suaminya, Abdullah bin Mas'ud, ia menceritakan sabda Nabi SAW tersebut dan berkata, "Sesungguhnya engkau adalah orang yang tidak mampu, tolong datang dan tanyakan kepada Nabi SAW, apa boleh aku bersedekah kepadamu, jika tidak boleh, aku akan memberikannya kepada orang lain…!!"

Tetapi Ibnu Mas'ud merasa tidak enak dan malu menanyakan hal tersebut kepada Nabi SAW, karena ia dalam posisi berhak tidaknya menerima sedekah dari istrinya sendiri. Apalagi ia mempunyai kedekatan khusus dengan beliau. Karena itu ia berkata kepada istrinya, "Kamu sendiri saja yang datang kepada beliau dan menanyakannya…!!"

Dengan perintah atau ijin suaminya tersebut, Zainab datang ke rumah Nabi SAW, ternyata di sana telah ada seorang wanita Anshar menunggu Nabi SAW hadir/datang untuk menanyakan hal yang sama dengan dirinya. Seperti telah memperoleh isyarat, Nabi SAW memerintahkan Bilal keluar menemui dua wanita tersebut, dan Zainab berkata, "Wahai Bilal, sampaikan kepada Rasulullah SAW, dua orang wanita menanyakan kepada kepada beliau, apa boleh kami memberikan shadaqah kami kepada suami dan anak-anak yatim yang kami asuh? Tetapi, tolong jangan dijelaskan siapa kami!!"

Bilal masuk kembali menemui beliau dan menyampaikan pertanyaan mereka berdua. Tetapi Nabi SAW justru menanyakan identitas mereka berdua sehingga Bilal tidak mungkin menyembunyikannya, ia berkata, "Seorang wanita Anshar dan Zainab, ya Rasulullah!!"

"Zainab yang mana?" Tanya Nabi SAW.

"Istri Abdullah bin Mas'ud…!!"

Nabi SAW bersabda, "Jika itu yang dilakukannya, kedua wanita tersebut akan mendapat dua macam pahala, pahala membantu kerabatnya, dan pahala shadaqah….!!" Bilal menyampaikan jawaban Nabi SAW, dan tentu saja Zainab beserta wanita Anshar tersebut sangat gembira. "Ijtihad" mereka tentang shadaqah ternyata dibenarkan beliau, bahkan memperoleh pahala berlipat. 

Kisah Sahabat Nabi Hisyam Bin Hakim Bin Hizam Ra

0 Comments

Hisyam Bin Hakim Bin Hizam Ra

Hisyam bin Hakim bin Hizam adalah sahabat Nabi SAW, putra dari seorang sahabat juga. Ayahnya, Hakim bin Hizam pernah mendapat ‘amalan’ khusus dari Rasulullah SAW, yakni agar ia bersikap qana’ah (merasa cukup dengan rezeki dari Allah) dan tidak meminta-minta. Maka ketika Islam mengalami kejayaan dan harta melimpah ruah memenuhi baitul mal pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, ia menolak pembagian harta yang menjadi haknya, dan memilih tetap hidup sederhana dan qana’ah sebagaimana diwasiatkan Rasulullah SAW.

Beberapa tahun berselang setelah Nabi SAW wafat, Hisyam bin Hakim sedang berjalan-jalan di Syam, dan ia melihat beberapa orang petani sedang dijemur di terik matahari dan dituangkan minyak di atas kepala mereka. Melihat tindakan penguasa muslim terhadap penduduknya seperti itu, Hisyam menanyakan permasalahannya, dan seseorang berkata, "Mereka disiksa seperti itu karena tidak membayar pajak….!!"

Mendengar penjelasan itu, spontan Hisyam berkata dengan nada tinggi, "Saya bersaksi bahwa saya benar-benar mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia….!!" Setelah itu Hisyam mendatangi kediaman gubernur Syam. Ia mengkritisi ‘kebijakan’ sang gubernur tersebut, dan menyampaikan ‘ancaman’ Rasulullah SAW. Ia memerintahkan agar para petani tersebut dilepaskan dari siksaannya, dan ternyata sang gubernur mematuhi saran yang disampaikanoleh Hisyam. 

Kisah Sahabat Nabi Si Badui Yang Menghisab Allah SWT

0 Comments

Si Badui Yang Menghisab Allah SWT

Seorang lelaki Badui telah memeluk Islam, tetapi karena keadaan ekonominya yang terbatas dan tempat tinggalnya yang sangat jauh dari Madinah, ia belum pernah menghadap dan bertemu langsung dengan Nabi SAW. Ia hanya berbai’at memeluk Islam dan belajar tentang peribadatan dari para pemuka kabilahnya yang pernah mendapat pengajaran Nabi SAW. Tetapi dengan segala keterbatasannya itu, ia mampu menjadi seorang mukmin yang sebenarnya, bahkan sangat mencintai Rasulullah SAW.

Suatu ketika ia mengikuti rombongan kabilahnya melaksanakan ibadah umrah ke Makkah. Sambil thawaf sendirian, terpisah dari orang-orang lainnya, si badui ini selalu berdzikir berulang-ulang dengan asma Allah, "Ya Kariim, ya Kariim….."

Ia memang bukan orang yang cerdas, sehingga tidak mampu menghafal dengan tepat doa atau dzikr yang idealnya dibaca ketika thawaf, sebagaimana diajarkan Nabi SAW. Karena itu ia hanya membaca berulang-ulang asma Allah yang satu itu. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang mengikuti berjalan di belakangnya sambil mengucap juga, “Ya Kariim, ya Kariim!!”

Si Badui ini berpindah dan menjauh dari tempat dan orang tersebut sambil meneruskan dzikrnya, karena ia menyangka lelaki yang mengikutinya itu hanya memperolok dirinya. Tetapi kemanapun ia berpindah dan menjauh, lelaki itu tetap mengikutinya dan mengucapkan dzikr yang sama. Akhirnya si Badui berpaling menghadapi lelaki itu dan berkata, "Wahai orang yang berwajah cerah dan berbadan indah, apakah anda memperolok-olokkan aku? Demi Allah, kalau tidak karena wajahmu yang cerah dan badanmu yang indah, tentu aku sudah mengadukan kamu kepada kekasihku…"

Lelaki itu berkata, “Siapakah kekasihmu itu?”

Si Badui berkata, “Nabiku, Muhammad Rasulullah SAW!!”

Lelaki itu tampak tersenyum mendengar penuturannya, kemudian berkata, "Apakah engkau belum mengenal dan bertemu dengan Nabimu itu, wahai saudaraku Badui?"

"Belum..!!" Kata si Badui.

Lelaki itu berkata lagi, “Bagaimana mungkin engkau mencintainya jika engkau belum mengenalnya? Bagaimana pula dengan keimananmu kepadanya?"

Si Badui berkata, "Aku beriman atas kenabiannya walau aku belum pernah melihatnya, aku membenarkan kerasulannya walau aku belum pernah bertemu dengannya…!!"

Lagi-lagi lelaki itu tersenyum dan berkata, "Wahai saudaraku orang Badui, aku inilah Nabimu di dunia, dan pemberi syafaat kepadamu di akhirat…!!"

Memang, lelaki yang mengikuti si Badui itu tidak lain adalah Rasulullah SAW, yang juga sedang beribadah umrah. Sengaja beliau mengikuti perilaku si Badui karena beliau melihatnya begitu polos dan ‘unik’, menyendiri dari orang-orang lainnya, tetapi tampak jelas begitu khusyu’ menghadap Allah dalam thawafnya itu.

Si Badui tersebut memandang Nabi SAW seakan tak percaya, matanya berkaca-kaca. Ia mendekat kepada beliau sambil merendah dan akan mencium tangan beliau. Tetapi Nabi SAW memegang pundaknya dan berkata, "Wahai saudaraku, jangan perlakukan aku sebagaimana orang-orang asing memperlakukan raja-rajanya, karena sesungguhnya Allah mengutusku bukan sebagai orang yang sombong dan sewenang-wenang. Dia mengutusku dengan kebenaran, sebagai pemberi kabar gembira (yakni akan kenikmatan di surga) dan pemberi peringatan (akan pedihnya siksa api neraka) …"

Si Badui masih berdiri termangu, tetapi jelas tampak kegembiraan di matanya karena bertemu dengan Nabi SAW. Tiba-tiba Malaikat Jibril turun kepada Nabi SAW, menyampaikan salam dan penghormatan dari Allah SWT kepada beliau, dan Allah memerintahkan beliau menyampaikan beberapa kalimat kepada orang Badui tersebut, yakni : "Hai Badui, sesungguhnya Kelembutan dan Kemuliaan Allah (yakni makna asma Allah : Al Karim) bisa memperdayakan, dan Allah akan menghisab (memperhitungkan)-nya dalam segala hal, yang sedikit ataupun yang banyak, yang besar ataupun yang kecil….."

Nabi SAW menyampaikan kalimat dari Allah tersebut kepada si Badui, dan si Badui berkata, "Apakah Allah akan menghisabku, ya Rasulullah??"

"Benar, Dia akan menghisabmu jika Dia menghendaki…" Kata Nabi SAW.

Tiba-tiba si Badui mengucapkan sesuatu yang tidak disangka-sangka, "Demi Kebesaran dan Keagungan-Nya, jika Dia menghisabku, aku juga akan menghisab-Nya….!!"

Sekali lagi Nabi SAW tersenyum mendengar pernyataan si badui, dan bersabda, "Dalam hal apa engkau akan menghisab Tuhanmu, wahai saudaraku Badui?"

Si Badui berkata, "Jika Tuhanku menghisabku atas dosaku, aku akan menghisab-Nya dengan maghfirah-Nya, jika Dia menghisabku atas kemaksiatanku, aku akan menghisab-Nya dengan Afwan (pemaafan)-Nya, dan jika Dia menghisabku atas kekikiranku, aku akan menghisab-Nya dengan kedermawanan-Nya…."

Nabi SAW sangat terharu dengan jawaban si Badui itu sampai memangis meneteskan air mata yang membasahi jenggot beliau. Jawaban sederhana, tetapi mencerminkan betapa "akrabnya" si Badui tersebut dengan Tuhannya, betapa tinggi tingkat ma’rifatnya kepada Allah, padahal dia belum pernah mendapat didikan langsung dari Nabi SAW. Sekali lagi Malaikat Jibril AS turun kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Muhammad, Tuhanmu, Allah As Salam mengirim salam kepadamu dan berfirman : Kurangilah tangismu, karena hal itu melalaikan malaikat-malaikat pemikul Arsy menjadi lalai dalam tasbihnya. Katakan kepada saudaramu, si Badui, ia tidak usah menghisab Kami dan Kami tidak akan menghisab dirinya, karena ia adalah (salah satu) pendampingmu kelak di surga….!!!" 

Kisah Sahabat Nabi Khansa Binti Amr Ra

0 Comments

Khansa Binti Amr Ra

Tumadhir binti Amr bin Harits, atau lebih dikenal dengan nama Khansa adalah seorang penyair wanita yang cukup terkenal pada masa jahiliah. Ketika Nabi SAW telah berada di Madinah, bersama beberapa orang kaumnya dari kabilah Bani Sulaim, ia datang menghadap beliau untuk memeluk Islam. Ia mempunyai empat orang anak lelaki yang kesemuanya ikut memeluk Islam, dan berhijrah untuk tinggal bersama Nabi SAW di Madinah.

Kemampuan Khansa melantunkan syair cukup dikagumi Rasulullah SAW. Ketika Adi bin Hatim memeluk Islam, ia mengatakan kepada Nabi SAW, bahwa penyair paling ulung adalah Amr al Qais, orang yang paling pemurah adalah Hatim bin Sa’d dan penunggang kuda paling pandai adalah Amr bin Ma’dikarib. Tetapi Nabi SAW bersabda, “Wahai Ibnu Hatim, bukan mereka!! Penyair paling ulung adalah Khansa binti Amr, orang yang paling pemurah adalah Muhammad (Rasulullah SAW), dan orang yang paling pandai menunggang kuda adalah Ali bin Abu Thalib..!”

Sungguh penghargaan yang sangat tinggi terhadap Khansa, karena beliau ‘mensejajarkan’ namanya dengan nama beliau sendiri dan Ali bin Abu Thalib.

Sejak keislamannya, Khansa tidak hanya bersemangat dalam melantunkan syair, tetapi ia terjun dalam beberapa medanpertempuran, baik ketika bersama Rasulullah SAW ataupun setelah beliau wafat. Dengan syair-syairnya, ia membangkitkan dan membakar semangat para sahabat untuk terus berjuang menegakkan kalimat-kalimat Allah. Terkadang ketika pasukan dilanda kelelahan dan kejenuhan, ia juga melantunkan syair-syairnya sehingga mereka kembali segar dan bersemangat

Ketika terjadi perang Qadisiyah pada tahun 16 H, pada masa khalifah Umar bin Khaththab, Khansa memotivasi anak-anaknya untuk turut serta dalam perang tersebut. Keahliannya bersyair digunakannya untuk mempengaruhidan memberikan semangat jihad pada mereka. Diingatkannya tentang kemuliaan berjuang di jalan Allah, keteguhan ayah dan paman-pamannya dalam membela agama Allah. Sampai akhirnya ia berkata, "Jika besok kalian bangun dalam keadaan sehat, berjihadlah kalian dengan penuh keberanian dan dengan mengharap pertolongan Allah. Majulah dengan semangat juang yang tinggi, dan masuklah dalam pertempuran, lawanlah para pemimpin orang-orang kafir itu, insya Allah kalian akan masuk surga dengan penuh kemuliaan dan kehormatan."

Ucapan-ucapannya tersebut dirangkaikannya dalam sebuah rangkaian syair yang sangat indah, dan amat membekas di hati putra-putranya sehingga semangat mereka begitu menggelora untuk segera terjun dalam pertempuran tersebut. Keesokan harinya, mereka berempat berjuang dengan perkasa melawan pasukan Persia. Mereka bertempur sambil membaca syair-syair ibunya, sampai akhirnya satu persatu mereka menemui syahidnya.

Ketika berita ini disampaikan kepada Khansa, sang ibu yang kehilangan empat putranya tersebut sama sekali tidak bersedih, justru ia bersyukur dan berkata, "Alhamdulillah, Segala Pujian hanya kepada Allah, yang telah memuliakan aku, dengan menjadikan anak-anakku sebagai syuhada’. Semoga dengan syahidnya mereka, dosa-dosaku akan diampuni oleh Allah, dan aku berharap dengan rahmat-Nya, agar bisa dikumpulkan dengan mereka di surga-Nya."Setelah hidup menyendiri, Khansa tetap mengabdikan dirinya membakar semangat kaum muslimin dengan syair-syairnya. Umar sangat menghargai dan selalu memberi santunan kepada Khansa, sebagaimana dahulu Rasulullah SAW melakukannya. Tidak lama setelah Utsman bin Affan menggantikan Umar, Khansa wafat di sebuah perkampungan Badui, yakni pada tahun 24 H. 

Kisah Sahabat Nabi Khaulah Binti Hakim Ra

0 Comments

Khaulah Binti Hakim Ra

Beberapa waktu setelah Khadijah RA wafat, dan Nabi SAW masih saja sendiri, Khaulah binti Hakim, yang juga sahabat Khadijah, menemui Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak ingin menikah lagi?"

"Ya," Kata Nabi SAW, "Tetapi dengan siapa?"

Khaulah-pun memberikan pandangannya, "Mana yang engkau sukai, yang masih gadis atau yang janda? Jika gadis, dia adalah Aisyah, putri sahabatmu sendiri, Abu Bakar Ash Shiddiq. Jika janda, dia adalah Saudah binti Zam'ah."

Nabi SAW menyerahkan urusan ini pada Khaulah, dan ia pergi ke rumah Abu Bakar. Ia hanya bertemu dengan Ummu Ruman RA, ibunda Aisyah. Ia berkata, "Saya datang ke sini membawa keberkahan dan kebaikan yang amat besar?"

"Apakah itu?" Tanya Ummu Ruman.

"Saya diutus Rasulullah SAW untuk meminang Aisyah!"

"Bagaimana mungkin?" Kata Ummu Ruman dengan terkejut, "Bukankah ia keponakan Nabi sendiri? Tetapi baiklah, saya akan berunding dengan bapaknya…"

Ketika kemudian Abu Bakar datang, iapun mempunyai pertanyaan yang sama, tentang status Aisyah sebagai keponakan Nabi SAW. Khaulah pergi menemui Nabi SAW menanyakan permasalahan ini, maka beliau bersabda, "Memang Abu Bakar adalah sahabat dan saudara saya se-islam, tetapi putrinya tidak termasuk wanita yang dilarang untuk saya nikahi!"

Khaulah membawa penjelasan ini kepada Abu Bakar, dan merekapun bersuka cita. Saat itu juga Nabi SAWdiminta datang ke rumah Abu Bakar dan Abu Bakar sendiri yang menikahkan Rasulullah SAW dengan Aisyah.

Peristiwa inilah yang menjadi dasar pendapat, bahwa Aisyah adalah istri pertama Rasulullah SAW setelah Khadijah RA wafat, tetapi memang beliau belum berkumpul dengan Aisyah. Beliau tinggal serumah dengan Aisyah ketika telah hijrah ke Madinah. Pendapat yang masyhur menyatakan, bahwa Saudah binti Zam'ah yang dinikahi Nabi SAW terlebih dahulu. Tetapi yang jelas, keduanya dinikahi Rasulullah SAW pada tahun yang sama dengan kewafatan Khadijah RA. 

Kisah Sahabat Nabi Amr Bin Ash Ra

0 Comments

Amr Bin Ash Ra

Amr bin Ash merupakan salah satu tokoh Quraisy yang paling gencar menghalangi dakwah Nabi SAW dan menyiksa orang-orang lemah yang masuk Islam. Karena itu Nabi SAW sempat berdoa kepada Allah agar menurunkanazab kepada tiga orang, yang salah satunya adalah 'Amr bin 'Ash. Tetapi kemudian turun ayat yang melarang Nabi SAW melakukan hal itu, yakni mendoakan keburukan bagi manusia (Surah Ali Imran 128).

Amr bin Ash memiliki kemampuan yang tinggi di bidang politik dan strategi, karena itu ia menyadari bahwa dengan dikukuhkannya perjanjian Hudaibiyah, agama Islam yang dibawa Nabi SAW akan mencapaiketinggian yang tidak mungkin bisa dibendung lagi oleh orang Quraisy. Tetapi pengamatan dan prediksi yang tajam ini belum cukup untuk membawanya kepada Islam, ia justru berkata kepada teman-teman dekatnya, "Marilah kita bergabung dengan Raja Najasyi di Habasyah dan menjadi anak buahnya. Jika Muhammad menang atas kaum Quraisy, kita sudah ada di sisi Najasyi. Tetapi jika kaum kita yang menang, maka kita adalah orang yang telah mereka kenal, tidak ada sikap yang muncul dari mereka kecuali kebaikan saja."

Teman-temannya itu menyetujuinya. Amr bin Ash memang telah cukup dikenal oleh Najasyi, raja Habasyah, karena ia pernah menjadi duta kaum Quraisy ketika kaum muslim hijrah ke Habasyah. Ia memanfaatkan hubungan baiknya ini agar bisa terselamatkan, ketika pertentangan dua kubu, Kaum Quraisy dan orang-orang Islam, makin memuncak. Amr membawa kulit-kulit yang disamak, salah satu barang yang sangat disukai Najasyi, sebagai hadiah dalam jumlah yang cukup besar.

Setibanya di Habasyah dan bersiap menghadap Najasyi, tampak utusan Nabi SAW, Amr bin Umayyah adh Dhamri, masuk menemui Najasyi berkaitan dengan keberadaan Ja'far bin Abu Thalib dan kaum Muhajirin lainnya di Habasyah. Setelah Amr bin Umayyah keluar dari majelis Najasyi, Amr bin Ash memasuki ruangan, ia bersujud seperti yang selama ini dilakukannya, dan Najasyi menyapanya, "Selamat datang sahabat karibku, apakah engkau membawa hadiah dari negerimu untukku?"

Ketika Amr menyerahkan hadiah kulit-kulit tersebut, tampak sekali kegembiraan dan ketakjuban Najasyi, apalagi jumlahnya cukup banyak. Pada saat melihat utusan Nabi SAW datang, muncul niat Amr untuk membunuh sahabat Nabi SAW itu, maka ia berkata kepada Najasyi, "Wahai tuanku, aku melihat seorang lelaki yang baru keluar dari majelis ini, ia adalah utusan dari lelaki yang menjadi musuh kami. Serahkanlah ia padaku untuk kubunuh, karena lelaki itu (Muhammad) telah banyak menghina dan melecehkan pemuka-pemuka kami."

Mendengar permintaan Amr ini, Najasyi sangat marah, danAmr menangkap ekspresi itu dan ia sangat ketakutan. Kalau saja saat itu bumi terbelah, rasanya ia ingin memasukinya agar terhindar dari kemarahan Najasyi. Karena itu buru-buru ia berkata lagi, "Tuanku, demi Allah, aku mengira tuan tidak menyukai permintaanku itu!!"

Najasyi berkata, "Apakah engkau meminta aku menyerahkan utusan dari seorang lelaki yang didatangi Malaikat Jibril, sebagaimana ia datang kepada Musa, agar engkau bisa membunuh utusan itu?"

"Wahai Najasyi, Apakah ia memang orang yang seperti itu?" Tanya 'Amr.

Amr bin Ash tentulah tidak mengerti bahwa telah beberapa hari lamanya utusan Rasulullah SAW tersebut tinggal di Habasyah, dan salah satu misinya adalah membawa surat beliau untuk menyeru Najasyi memeluk Islam, dan ia telah menyambutnya dengan tangan terbuka. Bahkan Najasyi telah mewakili Rasulullah SAW melamar Ummu Habibah binti Abu Sufyan untuk menjadi istri beliau.

Najasyi berkata, “Kecelakaan bagimu, hai Amr, taatilah aku dan ikutilah dia (Nabi SAW), karena sesungguhnya dia berada di atas kebenaran. Dan dia akan memperoleh kemenangan dari siapapun yang menentangnya, sebagaimana Musa bin Imran memperoleh kemenangan atas Fir'aun dan bala tentaranya."

Mendengar ucapan Najasyi ini, seperti ada kilat yang menyambar hatinya, tetapi sekaligus membuka mata hatinya hingga hidayah Allah SWT meneranginya. Amr berkata kepada Najasyi, "Maukah engkau memba'iat aku atas islam untuknya?"

“Baiklah!!” Kata Najasyi, dan ia memba'iat 'Amr untuk memeluk Islam.

Amr keluar dari majelis Najasyi dengan pandangan tentang Nabi SAW, yang jauh berbeda dengan ketika ia memasukinya. Tetapi ia masih menyembunyikan keislamannya dari sahabat- sahabatnya yang menunggu di luar, dan mengajak mereka kembali ke Makkah dengan dalih misinya gagal Diam-diam ia berencana menemui Nabi SAW di Madinah untuk menyatakan dan mengukuhkan keislamannya.

Beberapa kemudian, di suatu pagi yang masih cukup gelap, 'Amr bin Ash meninggalkan kota Makkah menuju Madinah hingga tidak ada orang yang mengetahuinya. Tetapi ketika sampai di Haddah, suatu tempat antara Makkah dan Thaif, Amr melihat dua orang telah berjalan mendahuluinya meninggalkan kota Makkah. Ketika keduanya beristirahat, salah satunya dari mereka menambatkan tunggangannya,dan satunya lagi masuk ke kemah. Setelah makin dekat, ternyata orang itu Khalid bin Walid, Amr pun bertanya, "Hendak kemanakah engkau, hai Abu Sulaiman?"

Khalid menjawab kalau akan ke Madinah menemui Nabi SAW untuk masuk Islam, tak lama kemudian orang yang di dalam kemah keluar, ternyata Utsman bin Thalhah. Amr gembira sekali karena bertemu dengan teman seperjuangan di dalam kekafiran, yang bermaksud sama untuk memeluk Islam. Mereka-pun sepakat untuk bersama-sama menyampaikan ba’iat keislaman di hadapan Nabi SAW.

Mereka bertiga sampai di Madinah di awal bulan Safar tahun 8 H selepas ashar, mereka mendekati masjid Nabi SAW. Tampak kegembiraan Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya melihat kedatangannya, Beliau bersabda, "Makkah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita…."

Terdengar juga seorang sahabat lainnya berkomentar, "Seluruh penduduk Makkah akan tunduk kepada beliau karena dua lelaki ini…"

Amr merasa, bahwa yang dimaksud dua orang itu adalah dirinya dan Khalid bin Walid. Pertama Khalid bin Walid yang berba'iat kepada Rasulullah SAW untuk memeluk Islam,Amr menyusul dan diikuti olehUtsman bin Thalhah.Amr berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya aku berba'iat kepadamu agar diampuni dosa-dosaku yang terdahulu."

Nabi SAW bersabda, "WahaiAmr, berba'iatlah karena sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa yang terdahulu, dan hijrah juga menghapus dosa-dosa yang telah lalu."

Sejak keislamannya, ia terjun dalam beberapa pertempuran bersama Rasulullah SAW. Tetapi jiwa pemimpin dan kelicinan strateginya baru menonjol jaman khalifah Umar bin Khaththab, bahkan ia terkenal dengan sebutan "Penakluk Mesir", karena pasukan yang dikomandaninya berhasil mengalahkan dan mengusir pasukan Romawi dari sana, dan akhirnya Mesir menjadi salah satu negara yang menjadi ikon Islam sampai sekarang.

Sebuah peristiwa menarik terjadi dalam pertempuran melawan pasukan Romawi di Mesir. Riwayat lain menyebutkan peristiwa ini terjadi di Perang Yarmuk di Syiria, juga melawan pasukan Romawi. Amr bin Ash sebagai komandan pasukan muslim yang mengepung benteng Romawi, diundang oleh komandan benteng (arthabon) untuk berunding. Sebenarnya undangan ini hanya jebakan belaka, mereka telah menyiapkan perangkap, jika Amr bin Ash kembali dari pertemuan tersebut, mereka akan menimpakan batu-batu yang telah disiapkan hingga ia tewas.

Tanpa prasangka apa-apa, Amr memenuhi undangan tersebut. Setelah terjadi beberapa kesepakatan, Amr akan kembali, tetapi ia menangkap suatu gejala yang tidak semestinya. Di luar ruangan, ia melihat beberapa gerakan di atas benteng yang mencurigakan, padahal ia akan lewat di bawahnya. Sadarlah Amr bahwa ia masuk dalam jebakan mereka. Ia berfikir cepat, kemudian kembali menemui Arthabon dan berkata, "Wahai Arthabon, di markasku di sana, menunggu beberapa sahabat utama Rasulullah, merekalah yang paling didengar pendapatnya oleh khalifah Umar jika mengambil keputusan penting. Karena itu aku ingin membawa mereka ke sini untuk memantapkan kesepakatan kita ini…."

Arthabon terpancing dengan siasat Amr yang sebenarnya hanya bohong semata, ia berfikir, "Kalau bisa membunuh beberapa tokoh orang muslim sekaligus, sebaiknya ditunda saja sampai mereka semua datang. Apalagi sepertinya orang ini (Amr bin Ash), bukanlah pimpinan tertinggi dari pasukan muslim tersebut…"

Ia segera memberi kode tertentu kepada prajuritnya untuk menunda atau membatalkan rencananya, dan Amrbisa keluar dari benteng dengan selamat. Ia tersenyum dalam hati melihat Arthabon termakan muslihatnya. Keesokan harinya, Amr mengerahkan pasukannya menyerbu benteng Mesir dengan semangat membara. Sementara itu pasukan Romawi yang justru tidak siap dengan serangan tersebut. Mereka beranggapan kalau para pimpinan pasukan muslim, seperti yang dikatakan Amr, masih akan datang untuk mematangkan perundingan. Akibatnya mereka dengan mudah dikalahkan dan benteng tersebut jatuh ke tangan kaum muslimin, berkat kepiawaian Amr bin Ash.

Amr bin Ash adalah tipikal seorang negarawan ulung dan mempunyai ambisi dalam kekuasaan, namun demikian ia termasuk orang yang amanah. Karena itu, Umar bin Khaththab tetap mempercayainya memegang jabatan gubernur Mesir walaupun ia hidup bergelimang harta, tetapi tentu saja ia dalam pengawasan yang ketat dari Umar. Pernah ia hidup terlalu berlebihan dari kekayaan yang dimilikinya, segera saja Umar mengirim utusan, yakni Muhammad bin Maslamah, dan memerintahkan harta Amr dibagi dua, separoh untuk Amr bin Ash dan separuhnya lagi diserahkan ke baitul mal, untuk kemaslahatan kaummuslimin secara umum. Amr-pun dengan senang hari menerima keputusan Umar tersebut.

Ketika terjadi pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, pena takdir membawa Amr bin Ash pada pilihan berpihak Muawiyah, tentu dengan alasan dan motivasi yang hanya diketahui oleh Amr. Yang jelas, peran Amr bin Ash sangat besar dalam memenangkan Muawiyah atas Ali bin Abi Thalib, walau dengan cara dan jalan yang tidak sepenuhnya benar, dengan cara siasat dan muslihat yang memang sangat dikuasai oleh Amr bin Ash.

Dalam pertempuran Shiffin, ketika pasukan Muawiyah terdesak dan hampir dikalahkan oleh Pasukan Ali, Amr menyarankan kepada Muawiyah untuk mengangkat al Qur'an dengan pedang atau tombaknya dan berteriak untuk bertahkim/berhukum dengan Al Qur'an. Siapapun tahu bahwa Ali bin Abi Thalib orang yang sangat mengenal dan menghargai Al Qur'an, bahkan ia termasuk salah satu dari "pemimpin-pemimpin" para penulis dan penghafalnya.Salah satu dari lima orang, yakni Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Zaid bin Tsabit.

Begitu sarannya tersebut dilaksanakan Muawiyah, Ali memerintahkan pasukannya untuk menghentikan serangan kepada pasukan Muawiyah. Banyak sekali kecaman dari sahabat dan tentaranya atas sikapnya ini, tetapi Ali tak bergeming. Pada dasarnya Ali memang tidak menghendaki peperangan tersebut terjadi, dan ia juga bukan tipikal orang yang ambisius dengan kemenangan, kekuasaan dan jabatan. Maka ketika jalan perundingan yang diminta, apalagi berhujjah dengan al Qur'an, serta merta Ali menyetujuinya.

Masing-masing pihak mengirimkan juru runding, Muawiyah mengirim Amr bin Ash dan Ali bin Abi Thalib mengirimkan Abu Musa al Asy'ari. Sesungguhnyalah Ali ingin mengirimkan Abdullah bin Abbas karena ia telah mengenal dengan baik karakter Amr bin Ash yang suka bersiasat, dan itu akan bisa diimbangi oleh Ibnu Abbas. Sementara Abu Musa al Asy'ari seorang sahabat yang saleh, yang selalu saja husnudzon pada orang lain. Tetapi karena mayoritas pasukan menghendaki Abu Musa, Ali menyetujuinya.

Dalam perundingan dua tokoh sahabat yang berbeda karakter ini, disepakati bahwa kedua pemimpin harus meletakkan jabatannya terlebih dahulu, kemudian diadakan pemilihan langsung terhadap salah satu dari keduanya,siapa yang diba'iat lebih banyak, dialah yang berhak menjadi khalifah. Masing-masing wakil pihak harus berpidato di hadapan seluruh pasukan dan melepaskan jabatan yang diwakilinya, baru setelah itu bisa dilaksanakan pemilihan. Abu Musa menerima perundingan tersebut dengan segala prasangka baiknya kepada Amr bin Ash.

Abu Musa menuruti permintaan Amr untuk berpidato pertama kali dan menanggalkan jabatan khalifah dari Ali. Setelah Abu Musa turun dari podium, Amr bin Ash menggantikan berpidato, ia berkata, "Sesungguhnya Abu Musa telah menanggalkan jabatan khalifah dari pemimpinnya, Ali bin Abi Thalib, dan saya pun menyatakan hal yang sama. Selanjutnya, dengan ini saya menetapkan Muawiyah sebagai khalifah dan Amirul mukminin yang bertanggung jawab atas penuntutan darah khalifah Utsman bin Affan, hendaklah kalian berba'iat kepadanya."

Abu Musa al Asy'ari terperangah kaget dengan perkataan Amr bin Ash, sama sekali ia tidak menyangka muslihat tersebut. Sementara Ali tampak tenang, sepertinya ia telah menduga hasil dari pertemuan dua tokoh tersebut. Pasukan Ali yang sebelumnya telah terpecah belah karena penghentian pertempuran yang diambang kemenangan makin kacau balau. Sebagian berbalik memusuhi Ali, sebagian lagi keluar dari pasukan utama.

Inilah peran besar Amr bin Ash dalam membalik keadaan, dari kekalahan total menjadi kemenangan pihak Muawiyah atas pihak Ali bin Abi Thalib.Tetapi menjelang ajalnya di tahun 43 hijriah, ketika itu ia menjabat gubernur Mesir di masa pemerintahan Muawiyah, seolah-olah ia menyadari semua langkah-langkah keliru dalam bersiasat dan bermuslihat, dan ia berdoa, "Ya Allah, aku ini orang yang tak luput dari kesalahan, mohon Engkau memaafkannya, aku ini orang yang tak sunyi dari kelemahan, mohon Engkau memberikan pertolongan. Jika Engkau tidak melimpahkan rahmat karunia- Mu, celakalah nasibku, Ya Rabbi…!!" 
 
back to top